Oleh:
Slamet Luwihono*
1. Pengantar
Dalam masa transisi otonomi daerah ini, kesejahteraan masyarakat hendaknya tetap menjadi acuan dalam merumuskan peran pemerintah. Perumusan ulang tentang peran pemerintahan meerupakan bagian dari reformasi sistem pemerintahan, selain penataan kelembagaan pemerintahan dari tingkat pusat sampai daerah. Dengan perumusan ulang tentang peran pemerintah, maka dapat dipetakan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik, kerena salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik sudah barang tentu tidak dapat dilayani secara keseluruhan oleh pemerintah pusat dan untuknya perlu didistribusikan ke daerah. Dalam konteks yang demikian, sistem desentralisasi menjadi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi ini dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Dengan demikian otonomi bukanlah hanya pelaung tetapi sekaligus sebagai tantangan untuk menggapai kesejahteraan rakyat.
Dalam sistem otonomi daerah telah terjadi perpindahan sebagian kewenangan yang tadinya berada di pemerintahan pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga daerah otonom dapat lebih tanggap terhadap tuntuntan masyarakat berdasar kemampuan dan potensi yang dimiliki oelh masyarakat di daerah tersebut. Bangunan sistem dan kelembagaan menjadi penting dilakukan sebagai dasar merancang standard pelayanan publik yang optimal. Idealnya otonomi daerah memberi dampak nyata dalam peningkatan layanan oleh pemerintah kepada masyarakat. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah membuka peluang terjadinya penyelenggaraan layanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dalam peningkatan layanan publik. Kemajuan teknologi juga diharapkan menjadi alternative terpenuhinya prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut hendaknya menjadi acuan dalam penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah di setiap tingkatan pemerintahan.
Untuk terjaminnya kesejahteraan social, konstitusi kita menjamin setiap orang:
- “…. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan…”
- “…. berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan…”
- “…. berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secar utuh sebagai manusia yang bermartabat; dan berhak mempunyai hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun…”
Untuk memenuhi hak warga negara tersebut Negara mempunyai kewajiban:
§ “…. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan…”
§ “…. bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak…”
Berdasarkan desentralisasi pelayanan public, telah terjadi pembegian kekuasaan dan/atau wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan/atau mengelola fungsi public dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berkaitan dengan desentralisasi pelayanan publik, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14, pemerintah daerah mempunyai fungsi :
§ penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
§ penyediaan sarana dan prasaran umum;
§ penanganan bidang kesehatan;
§ penyelenggaraan pendidikan;
§ penanggulangan masalah sosial;
§ pelayanan bidang ketenagakerjaan;
§ fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
§ pelayanan pertanahan;
§ pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
§ palayanan administrasi umum pemerintahan;
§ pelayanan administrasi penanaman modal;
§ penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
2. Pelayanan Publik: Pengertian, Jenis, Prinsip, dan Asas
2.1. Pengertian
Seiring dengan penerapan sistem desentralisasi, pelayanan publik akhir-akhir ini menjadi diskusi yang hangat dan menjadi perhatian di kalangan masyarakat. Sebelumnya, isu-isu pelayanan publik ini kurang menjadi perhatian karena berkembang asumsi bahwa pelayanan publik itu hanyalah urusan pemerintah saja, mulai dari proses perumusan kebijakan, implementasi, sampai dengan evaluasi. Masyarakat seringkali tidak bisa mengakses segala informasi yang berkaitan dengan pelayanan publik ini. Penyelenggaraan Negara yang semakin transparan telah berdampak pada kesadaran orang untuk ikut terlibat dalam proses pelayanan publik baik dalam proses perumusan kebijakan, implementasi, sampai dengan evaluasi, dan pengawasan.
Dari sisi administrasi Negara, pelayanan publiok dipahami sebagai[2] “segala kegiatan layanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum sebagai pelaksanan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam era globalisasi dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memeberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indicator dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan negara, terdapat asas-asas umum yang harus dijadikan acuan pemerintah dalam melakukan layanan public.[3] Negara sebagai organisasi publik, pada dasarnya dibentuk untuk penyelenggaraan layanan masyarakat dan bukan dimaksudkan untuk berkembang menjadi besar dan mematikan organisasi publik lainnya.[4] Meskipun organisasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tidak ada salahnya dalam opersionalnya menganut paradigma yang dianut dalam organisasi bisnis, yaitu, efisien, efektif, dan tetap menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya.
Menurut salah satu kajian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), pelayanan publik diartikan sebagai: “suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warna Negara atau penduduk atas suatu layanan (publik)”.[5] Pengertian menurut KHN ini secara tegas menekankan bahwa pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah (negara). Batasan ini berbeda denga batasan yang diberikan oleh Menpan yang mendefinisikan pelayanan publik hanya sebagai kegiatan instansi pemerintah.
Pada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan publik merupakan amanat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara (ekskutif dan legislatif) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kesejahteraan ini dilakukan dengan memprioritaskan pelayanan-pelayanan dasar bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat yang bisa memahami pekayanan publik sebagai hak dan bukan pemberian pemerintah, apalagi seluk beluk permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagian masyarakat masih menyederhanakan pemahaman tentang pelayanan publik yang diartikan sebagai pemberian pemerintah. Dengan pemahaman yang sederhana itu, ketika sebagian rakyat memahami pelayanan public sebagai pemberian dari pemerintah, masyarakat memahami pelayanan public sebagai aktivitas belanja yang menggunakan uang pemerintah. Pemahaman yang demikian akan membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pelayanan public itu kepada pemerintahan, karena dalam pandangan masyarakat tersebut uang yang dibelanjakan untuk pelayanan public itu milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak mencampuri pengelolaan pelayanan publik.
Dengan demikian pemahaman yang benar tentang pelayanan publik ini menjadi penting. Pelayanan public harus dijadikan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan kegiatan yang dibiayai dengan uang uang public. Pelayanan publik ini mempunyai arti penting terutama bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pelayanan publik haruslah ditujukan untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar manusia. Menurut Jim St. George[6], pengertian hak-hak dasar manusia tersebut sebagai hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu untuk membebaskan dirinya dari kemiskinan, keterasingan, dan keterbelakangan. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk memperoleh makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar itulah yang harus menjadi prioritas terpenting dari pemerintah dalam menetapkan anggaran publik sebagai produk kebijakan. Ketiga tersebut (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat) hendaknya dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Apakah kebijakan pelayanan public pro rakyat atau tidak sebenarnya dapat dilihat antara lain dari paling tidak apakah memang kebijakan pelayanan public memenuhi ketiga hal tersebut.
Karena essensi dasar dari kebijakan pelayanan public adalah implementasi pengelolaan uang masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, maka peran masyarakat dalam management pelayanan public mempunyai makna yang penting. Peran masyarakat di sini penting dilakukan untuk menghindari berbagai penyimpangan yang akhirnya justru merugikan masyarakat. Peran tersebut tidak hanya terjadi pada proses pelaksanaan tetapi sebaiknya mulai dari proses perencanaannya, supaya dalam proses perencanaan disusun dengan memperhatikan berbagai kepentingan, saran, dan kritik dari masyarakat. Semestinya penyusunan kebijakan pelayanan public memenuhi tiga syarat, yaitu:[7] (1) Si pembuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh public (accountable); (2) Prosesnya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak mengindikasikan adanya korupsi dan kolusi (transparent); (3) Proses itu juga terbuka untuk mengakomodasi opini kritis khalayak ramai (participated).
Dalam lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph I, butir c tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga sebagai berikut:
- Kelompok Layanan Administratif, yaitu layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan dan penguasaan terhadap suatu barang, dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain: Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte pernikahan, akte kelahiran, keterangan kematian, Buku Pemillikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), paspor, sertifikat kepemilikan / penguasaan tanah, dan sebagainya.
- Kelompok Layanan Barang yaitu layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.
- Kelompok Layanan Jasa yaitu layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan sebagainya.
2.2. Prinsip Pelayanan Publik
Layanan publik tersebut di atas merupakan hak masyarakat yang dalam pelaksanaannya pada dasarnya mengandung prinsip-prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisplinan-kesopanan-dan keramahan, dan kenyamanan.[8] Agak berbeda dengan rumusan prinsip-prinsip layanan publik tersebut di atas, The Charter of Fundamental Right of the European Union dalam pasal 14 menyatakan prinsip-prinsip layanan publik sebagai berikut:[9]
- Memperoleh penanganan urusan-urusannya secara tidak memihak, adil, dan dalam waktu yang wajar.
- Hak untuk didengar sebelum tindakan individual apapun yang akan merugikan dirinya diputuskan.
- Hak atas akses untuk memperoleh berkas milik pribadi dengan tetap menghormati kepentingannya yang sah atas kerahasisaan dan atas kerahasiaan profesionalitasnya.
- Kewajiban pihak admisitrasi Negara untuk memberikan alasan-alasan yang mendasari keputusannya.
- Memperoleh ganti rugi yang ditimbulkan oleh lembaga atau aparatur pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
2.3. Asas Pelayanan Publik
Selain prinsip-prinsip di atas,dalam memberikan layanan kepada masyarakat harus berasaskan:
- Transparansi: bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
- Akuntabilitas: dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
- Kondisional: sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi penerima layanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
- Partisipatif: mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
- Kesamaan Hak : tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
- Keseimbangan Hak dan Kewajiban: pemberi dan penerima layanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Apabila prinsip dan asa layanan publik tersebut ditaati oleh pelaksana/pelayan publik dalam hal ini aparatur Negara, maka keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas layanan npublik tidak harus muncul. Munculnya keluhan dari masyarakat sebagai penerima layanan publik lebih banyak disebabkan belum termanifestasikannya prinsip-prinsip dan asas-asas layanan publik dalam pelaksanaan tugas aparatur Negara.
3. Kelembagaan Layanan Publik
Dalam konteks pelayanan publik dapat dapat dipetakan paling tidak tiga pelaku sebagai berikut:
- Penetapan kebijakan dalam layanan publik
- Penyedia/pelaksana layanan publik
- Penerima layanan publik
Di Negara-negara yang mana pemerintah sangat dominant, seringkali pemerintah mendominasi sebagai pelaku pertama sekaligus pelaku kedua, sedangkan penerima layanan publik adalah masyarakat. Dalam perkembangannya, penyedia/pelaksana layanan publik tidak harus pemerintah karena sudah banyak terjadi contoh swastanisasi layanan publik. Pihak swasta telah masuk dalam relasi layanan publik, sehingga sekarang dalam konteks layanan publik terdapat tiga pihak yang saling berinteraksi, Dalam proses layanan publik masing-masing pihak memegang fungsi dan peran yang berbeda tetapi saling berinteraksi dalam lingkaran proses layanan public.[10] Banyak model yang dicoba untuk dikembangkan berkaitan dengan penyediaan layanan publik. Berkaitan dengan layanan publik di tingkat lokal, Leach[11] mengatakan bahwa eksistensi pemerintah lokal adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menggunakan jalur atau mekanisme apapun yang paling memadai, apakah melalui pemerintah langsung, sektor swasta, maupun masyarakat. Savas (Savas, 1994) mengemukakan sepuluh model hubungan antara tiga pihak dalam layanan publik, yaitu:[12]
- Government service
- Government Vending
- Intergoverment Agreement
- Contract
- Franchise
- Grant
- Voucher
- Market
- Voluntary
- Self Service
4. Partisipasi Publik Dalam Pelayanan Publik
4.1. Pengertian Partisipasi
Sistem desentrasliasi diterapkan sebagai instrument untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan, dan partisipasi masyarakat, serta daya saing daerah dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Pelayanan public sebagai salah satu produk kebijakan dari pemerintah dalam pelaksanaannya haruslah tetap mengacu pada tujuan kerangka besar yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui salah satunya partsipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu nilai yang harus dikembangkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Gagasan partisipasi publik dalam pelayanan public pada dasarnya adalah satu ide untuk memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, terutama dalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi pelayanan publik. Partisipasi masyarakat dalam implementasi pelayanan publik ini merupakan upaya untuk melakukan pembatasan kekuasaan pengelolaan pelayanan publik supaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan untuk melakukan control sosial terhadap implementasi pelayanan publik. Dengan adanya partisipasi dalam pelayanan publik, diharapkan pemerintahan tidak lepas kontrol dalam implementasi pelayanan publik.
Dewasa ini pengertian pelaksanaan partisipasi seringkali hanya ditujukan untuk kegiatan pembangunan (baca: proyek) di tingkat lokal; sementara partisipasi untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat makro (baca: yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat dan kegiatan yang menggunakan uang masyarakat), termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, belum banyak mendapat perhatian. Padahal partisipasi untuk kebijakan makro juga penting dan mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan masyarakat.[13] Conchelos (1985)[14] membagi partisipasi menjadi dua jenis, yaitu partisipasi dalam pengertian teknis dan partisipasi dalam pengertian politik. Partisipasi teknis diartikan sebagai “taktik” untuk mengikutsertakan masyarakat dalam aktivitas: mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisa data dan mengimplementasikan hasilnya. Sedangkan partisipasi politik diartikan sebagai pemberian kekuasaan dan kontrol kepada masyarakat melalui pilihan-pilihan untuk beraksi, berotonomi dan berefleksi terutama melalui pengembangan dan penguatan kelembagaan. Kegiatan partisipasi teknis yang tidak dilandasi dengan partisipasi politis, tidak akan memberikan makna yang signifikan bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan.
Secara sederhana Larry W. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Dari sudut terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite) (Arimbi HP dan Mas Achmad Santoso 1993: 1).
4.2. Partisipasi Masyarakat dalam Sistem Demokrasi Perwakilan
Terdapat asumsi, bahwa secara formal procedural demokrasi sudah bisa berjalan dengan adanya lembaga trias politika yang menyatakan bahwa kekuasaan negara hanya terdiri dari tiga jenis lembaga yaitu: pertama, kekuasaan legislative yang mewakili berbagai golongan masyarakat yang tugasnya membuat peraturan (undang-undang) dan mengontrol cara kerja serta kinerja lembaga ekskutif; kedua, ekskutif yang tugasnya melaksanakan undang-undangn untuk penyelenggaraan pemerintah sehari-hari dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat; ketiga, lembaga yudikatif yang mempunyai kekuasaan dan berfungsi menegakkan peraturan perundang-undangan. Adanya pembagian kekuasaan ini secara sederhana bisa dipahami dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh pihak yang berkuasa dengan tidak menyerahkan segala urusan kenegaraan kepada satu orang atau satu lembaga saja. Dengan demikian diharapkan apabila antara ketiga lembaga tersebut saling melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik maka demokrasi bisa berjalan.
Dalam kenyataannya, dalam penyelenggaraan demokrasi bernegara berdasarkan trias politika mengalami bias pada kepentingan institusi dan orang yang ada di institusi sendiri. Bias itu terjadi berdasarkan kenyataan yang sering terjadi bahwa, dalam negara banyak warga negara (masyarakat) yang kebutuhannya seringkali justru tidak sejalan atau berseberangan dengan institusi-institusi negara, bahkan dengan lembaga legislative yang dianggap mewakili warga masyarakat itu sendiri. Pada kenyataannya seringkali lembaga-lembaga negara tidak menyuarakan dan memihak kepada masyarakat yang diwakilinya. Sistim demokrasi dengan penerapan trias politika nampaknya masih jauh dari prinsip-prinsip representatif.[15] Selanjutnya menurut Budi Rajab, sistem demokrasi yang dikembangkan faham trias politika mengingkari dictum sosiologis, yang dari pengalaman sejarah telah terungkap, bahwa sangat jarang ada institusi yang merepresentasikan secara utuh kepentingan pihak-pihak yang diwakilinya.
Menurut Jurgen Habermas,[16] demokrasi yang selama ini berlangsung lebih bersifat formal procedural. Artinya , penyelenggaraan hidup bernegara hanya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal kenegaraan, yang isinya menunjuk pada relasi-relasi antara lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif, tanpa ada keterlibatan institusi-institusi kemasyarakatan. Demokrasi yang demikian dipandang tidak cukup karena yang disebut wakil tidak selalu sejalan bahkan bisa berseberangan dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dikembangkan bentuk demokrasi partisipatif, yang memungkinkan warga masyarakat melalui institusi-institusi yang dibentuknya bisa ikut serta atau terlibat langsung dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam melakukan pengawasan atas cara kerja dan kinerja berbagai instutusi negara tersebut. Oleh karena itu perlu dikembangkan institusi yang ada di masyarakat untuk melakukan kontrol perilaku publik institusi kenegaraan dalam rangka melakukan pengendalian.
4.3. Prasyarat Partisipasi
Banyak terjadinya penyimpangan dalam implementasi pelayanan public disebabkan salah satunya oleh adanya problem ketidakseimbangan penguasaan informasi antara masyarakat dengan pemerintah. Merebaknya perilaku korupsi di anggaran (APBD) karena tertutupnya akses informasi yang berkaitan dengan dokumen APBD. Paradigma bahwa dokumen APBD merupakan rahasia negara dan tidak semua orang dapat mengakses informasi tersebut telah menjadi penyebab terhambatnya control masyarakat terhadap praktek penyelenggaraan pemerintah. Padahal partisipasi dalam pengawasan dalam pelayanan public hanya mungkin terjadi ketika warga memiliki informasi yang memadai tentang dokumen-dokumen public. Kebebasan dan kapasitas warga untuk mengakses informasi dan dokumen public menjadi indikator penting bagi kemajuan tahapan partisipasi[17] sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan negara yang baik. Asas keterbukaan ini diartikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
4.4. Bagaimana Partisipasi dalam Pelayanan Publik Dilakukan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses penyusunan kebijakan publik bagi pengembangan demokrasi penyelenggaraan pemerintahan. Karena begitu pentingnya partisipasi masyarakat, prinsip ini menjadi salah satu pilar dalam rangka mewujudkan good governance. Dalam konteks pelayanan public, paradigma baru yang menempatkan masyarakat hanya sebagai pelanggan sudah saatnya ditinggalkan. Pelayanan public bukan semata-mata kegiatan untuk mencari keuntungan tetapi harus dilihat juga sebagai kegiatan yang bernuansa social (bukan semata-mata bersifat ekonomis). Dalam aktivitas pelayanan public, masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan tetapi juga sebagai pemilik negara dan pemerintah (penyelenggara layanan)à dari hanya sebagai customer ke posisi sebagai owner. Sebagai pemilik dan pemberi mandat kepada pemerintah, sudah sewajarnya masyarakat dilibatkan dalam setiap tahapan perumusan dan pengambilan kebijakan public termasuk kebijakan dalam pelayanan publik, yang di dalamnya menyangkut jenis pelayanan yang dibutuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan public, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan mengevaluasi pelayanan publik.[18] Dengan demikian, pertisipasi merupakan salah satu pilar dari good governance dalam pelayanan publik selain transparansi, akuntablitas, dan fairness. Untuk mewujudkan good governance maka dipandang perlu diatur partisipasi masyarakat dalam perymusan kebijakan pelayanan publik. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan Penyelenggara Negara (pemerintahan) membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan negara. Partisipasi public dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas public dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Meskipun mengetahui arti pentingnya dan manfaat partisipasi dalam pelayanan public, di banyak kasus pemerintah sering mengelabui masyarakat dengan menjadikan partisipasi hanya sebagai jargon untuk memperoleh legitimasi public. Partisipasi yang demikian tentu tidak akan mendatangkan manfaat apapun bagi masyarakat. Oleh karena itu paling tidak perlu diidentifikasikan metode atau instrument yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi. Urban Institute dan USAID, Pemerintah Skotlandia dalam penelitiannya yang tentang “Customer and Citizen Focused Publik Service Provision”, menyebutkan ada beberapa instumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyediaan pelayanan public, sebagai berikut:[19]
- membuat saluran untuk menampung keluhan konsumen.
- membuat saluran untuk menampung saran-saran dari konsumen.
- Melakukan survai konsumen.
- Melakukan kontak atau pertemuan dengan konsumen.
- Membuat forum untuk memperoleh masukan kualitatif dari konsumen, misalnya membentu forum konsumen.
Supaya partisipasi masyarakat lebih efektif maka instrument partisipasi harus disesuaikan dengan peran yang sedang dimainkan oleh masyarakat dalam proses penyediaan pelayanan public.
CONTOH KASUS 1:
Citizen's Charter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di Kota Blitar[21]
Masalah Pelayanan Publik yang ada sebelum dilakukan Partisipasi
Puskesmas bagai sebagaian masyarakat Kota Blitar merupakan pelayanan publik yang sangat vital. Hal ini karena tidak semua warga masyarakat di Kota Blitar mampu membayar biaya untuk memeriksakan diri ke dokter swasta pada saat mereka sakit. Sehingga apabila mereka sakit, Puskesmas masih menjadi tumpuan harapan satu-satunya untuk mencari tempat kesembuhan. Sayangnya, sebagai salah satu pusat pelayanan publik yang menjadi andalan masyarakat, Puskesmas di Kota Blitar masih banyak menghadapi kendala. Survay layanan Puskesmas yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK-UGM) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Blitar menemukan berbagai permasalahan pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas di Kota Blitar diantaranya adalah: masyarakat pengguna Puskesmas tidak mengetahui biaya secara pasti yang akan ditarik oleh Puskesmas. Pada beberapa Puskesmas juga ditemukan masalah tentang minimnya fasilitas pelayanan kesehatan yang mereka sediakan dan rendahnya otonomi Puskesmas untuk menangani pasien yang perlu penanganan mendesak.
Untuk mengatasi permasalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas di Kota Blitar, Pihak Pemkot bekerjasama dengan PSKK-UGM berusaha memecahkan masalah tersebut dengan instrumen partisipasi publik yang disebut sebagai citizen's charter.
Partisipasi Publik melalui Citizen's Charter
Pada dasarnya kegiatan citizen's charter merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di mana antara pemberi dan pengguna layanan, serta pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) secara bersama-sama membuat dan menyepakati suatu kontrak pelayanan menyangkut prosedur, waktu, biaya, dan cara pelayanan. Kesepakatan ini harus mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara penyedia dan pengguna layanan serta stakeholders. Kesepakatan tersebut yang kemudian dijadikan dasar dalam praktek penyelenggaraan layanan publik.
Sebelum sampai pada kontrak pelayanan tersebut, langkah awal yang dilakukan oleh pihak Pemkot Blitar dan PSKK-UGM adalah menandatangani nota kesepakatan untuk melakukan pelembagaan citizen's charter. Nota kesepakatan ini ditandatangani pada tanggal 22 Juli 2003 di Balai Kota Blitar. Bersamaan dengan penandatanganan kontrak ini juga dilakukan seminar dengan mengundang semua stakeholders yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di Kota Blitar, Camat, Lurah, tokoh masyarakat, paramedis dan pers.
Langkah selanjutnya setelah seminar adalah pelembagaan citizen's charter kepada masyarakat luas melalui serangkaian acara talk show, penyebaran leaflet, poster dan buku tentang citizen's charter ini. Seteleh kegiatan ini dilakukan, maka tahapan berikutnya adalah pembentukan forum citizen's charter yang dilakukan melalui musyawarah. Anggota forum ini terdiri dari 16 orang yang terdiri dari 3 orang wakil puskesmas, 1 orang dari dinas kesehatan, 1 orang dari RSUD, 1 orang dari LPMK, 2 orang dari posyandu balita dan lasia, 1 orang pers, 1 orang dari kecamatan, 1 orang lurah, 1 orang dari UKS/Cabang Dinas Pendidikan, 2 orang dari LSM, 1 orang tokoh masyarakat, 1 orang PPLK KB, dan 1 orang anggota DPRD. Mereka yang ditunjuk menjadi anggota forum ini adalah mereka yang oleh masyareakat dianggap mempunyai komitmen untuk memperbaiki pelayanan publik di Kota Blitar.
Setelah forum ini terbentuk , maka forum citizen's charter bekerjasama dengan PSKK-UGM melakukan survai pengguna layanan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna Puskesmas pada saat mereka ingin memperoleh layanan kesehatan dari Puskesmas. Selain melakukan survai, untuk memperkaya temuan, forum citizen's charter juga melakukan FGD dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang terpilih untuk memetakan permasalahan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas.
Setelah permasalahan pelayanan Puskesmas teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah membuat kontrak pelayanan untuk mengatasi masalah pelayanan publik di Puskesmas. Melalui serangkaian kegaiatan yang melaibatkan penyelenggara layanan, masyarakat dan stakeholders, akhirnya forum citizen's charter dengan difasilitasui oleh PSKK-UGM berhasil merumuskan kontrak pelayanan. Agar kontrak pelayanan ini diketahui oleh masyarakat luas yang akan menggunakan layanan puskesmas, setelah disepakati , kontrak pelayanan ini disosialisasikan kepada masyarakat dengan berbagai cara, misalnya melalui radio, sekolah, paramedis, dan lain sebagainya.
Perubahan Pelayanan Publik Setelah ada Citizen's Charter
Meskipun pada awalnya implementasi kontrak pelayanan ini banyak mengalami kendala namun akhirnya dapat teratasi. Dari kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh PSKK-UGM, Tim citizen's charter Pemkot Blitar, Dinas Kesehatan, Forum citizen's charter, dan masyarakat pengguna layanan, berhasil menemukan perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan setelah diimplementasiukannya kontrak pelayanan, yang terlihat dari beberapa indikator sebagai berikut:
(1) Para Petugas Puskesmas menjadi lebih ramah, bersikap sopan, tidak merokok, dan tidak melakukan pekerjaan lain sewaktu melayani pasien.
(2) Petugas memberikan pelayanan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.
(3) Prosedur pelayanan menjadi lebih jelas sesuai dengan kontrak pelayanan yang telah disepakati .
(4) Penampilan para petugas lebih bersih dan rapi.
(5) Pengguna layanan dapat menyampaikan kritik dan keluhan.
5. Tantangan-Tantangan dalam Partisipasi Pelayanan Publik
Dalam upaya untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik, masyarakat seringkali menghadapi beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut bisa berasal dari diri masyarakat sendiri dan bisa juga berasal dari pemerintahan. Kendala-kendala tersebut antara lain berupa:
7. Sistem yang terbangun belum memberikan ruang yang luas, aman, dan memadahi bagi pengembangan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
8. Masih rendahnya kesadaran masyarakat bahwa pelayanan publik merupakan bagian dari kehidupan sosial-politiknya yang oleh karenanya masyarakat harus juga terlibat dalam proses pengambilan kebijakan berkaitan dengan pelayanan publik.
9. Masih rendahnya kapasitas atau kemampuan masyarakat untuk melakukan partisipasi. Dalam melakukan partisiapsi dalam pelayanan publik dibutuhkan keaktifan masyarakat. Partisipasi membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas karena esensi dari partisipasi adalah masyarakat aktif. Tanpa masyarakat aktif, ruang partisipasi yang sudah terbuka tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal.
10. Belum terbangun kemauan dan komitmen politik dari sebagian besar Pemerintah untuk menciptakan transparansi pelayanan publik. Anggapan bahwa pemerintah telah menerima mandat yang penuh dari masyarakat merupakan sumber dari ketidakterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh informasi berkaitan dengan pelayanan publik prasyarat partisipasi menjadi tidak ada.
11. Belum terbangun kemauan dan komitmen politik dari legislative untuk melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pelayanan publikj. Bahkan dalam banyak kasus oknum anggota DPRD terlibat dalam berbagai penyimpangan pelaksanaan pelayanan publik.
12. Sudah berkembangnya kultur tanpa partisipasi dalam pelaksanaan pelayanan publik, sehingga partisipasi sering dimaknai sebagai ekspresi resistensi.
13. Sistem informasi pelayanan publik masih bersifat pasif. Untuk mendapatkan informasi, masyarakat sendiri yang harus mencari informasi berkaitan dengan segala yang berkaitan dengan pelayanan publik. Sistem ini jelas tidak mendorong inisiatif masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pengawasan terhadap pelayanan publik.
14. Perangkat hukum yang dapat menjadi dasar yang memberikan jaminan bagi partisipasi masyarakat masih minim. Perangkat hukum yang memberi ruang bagi partisipasi masyarakat ini penting karena selain supaya masyarakat mengetahui hak, kewajiban, tanggungjawab serta mekanisme dalam berpartisipasi, masyarakat juga memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya tersebut.
6. Rekomendasi
Berkaitan dengan uraian etrsebut di atas, hal-hal yang penting dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan upaya penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam pelayanan publik.
2. Perlu dilakukan penguatan kapasitas masyarakat misalnya dengan pelatihan-pelatihan tentang bagaimana berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
3. Selalu mendorong pemerintah untuk membuka ruang-ruang partisipasi dalam peneyelenggaraan pelayanan publik.
4. Mendorong terjadinya upaya untuk menciptakan akses informasi yang mudah bagi masyarakat berkaitan dengan perolehan informasi dokumen publik yang berkaitan dengan pelayanan publik.***
* Disampaikan pada “Pelatihan Partisipasi Warga dalam Pengelolaan Pelayanan Publik Dasar” yang diselenggarakan oleh Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) pada tanggal 30 November 2006 di Wisma “ASRI” Tawangmangu.
** Staff Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lokal Lembaga Percik, dan Advokad pada Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH) Percik. Organizing Committee (Fasilitator Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Metode) Forum Pengambangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) periode April 2004 - Juni 2006.
[1] Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah pasal 1 ayat (7).
[2] Lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph I, butir C.
[3] Untuk penyelenggaraan pemerintah yang baik ini telah diterapkan aturan formal berupa Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam UU tersebut asas penyelenggaraan negara terdiri dari: asas kepastian hukum; asas tertib dalam penyelenggaraan Negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan ; asas proporsionalitas; dan asas akuntabilitas.
[4] Bdgk, “Otonomi Daerah dan Layanan Publik”, dalam http://www.pu.go.id/itjen/buletin/3031otoda.htm.
[5] Komisi Hukum Nasional (KHN) , “Reformasi Sektor Layanan Publik”
[6] Bandingkan, Ihsan Haerudin, “Anggaran Pro Rakyat Miskin”, Bujet, Edisi 9/Oktober 2003, hal. 48 – 49.
[7] Agus Priyanto, “Mendorong Partisipasi Publik untuk Transparansi APBD”, Bujet, Edisi 10/Nopember – Desember 2003, hal. 43-44.
[8] Lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph V.
[9] Komisi Hukum Nasional (KHN), op. cit.
[10] Terhadap swastanisasi layanan publik ini masih terjadi perdebatan. Diskusi untuk ini, lihat antara lain Ikhsan Haerudin, “Reformasi Pelayanan Publik” Pikiran Rakyat, Selasa 24 September 2002.
[11] Dalam Roy V. Salomo dan Jamal bake, “Administrasi Publik, Aransemen Kelembagaan dan reformasi Pelayanan Publik di Tingkat Lokal”, Jurnal PSPK, Pusat studi Pengembangan Kawasan, Edisi 1, Februari 2002, Jakarta, hal. 9.
[12] Savas, ES, Privatization: The Key To Better Government (New Jersey: Chatham House Publishers Inc., 1994) dalam Roy V. Salomo dan Jamal Bake, ibid.
[13] Lihat Ganjar Kurnia, “Jangan Ada Rahsia Diantara Kita”, Bujet, Edisi 3, Pebruari 2003, hal. 43-44.
[14] Dalam Ibid, hal. 43.
[15] Budi Rajab, “Pengawasan Masyarakat atas Institusi Kenegaraan”, Bujet, Edisi 10 / Nopember-Desember 2003, hal. 46.
[17] Suhirman, “Mendefinisikan Partisipasi: Penelusuran Awal Atas Konsep, Tahap, Dan Dinamika Partisipasi”, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Pengembangan partisipasi Masyarakat ke-7 (PF VII FPPM) di Ngawi, 15 – 18 Juli 2003.
[18] Bdgk Agus Dwiyanto (ed), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) – Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm 194.
[21] Sumber: Pelembagaan Citizen's Charter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Yogyakarta, Kabupaten Semarang, dan Kota Blitar, PSKK-UGM dan Ford Foundation, 2004, dalam Agus Dwiyanto, ed, op. Cit. Hal. 206-209.