19 Agustus 2008

Pemekaran Daerah atau Wilayah?

Oleh: Slamet Luwihono


Maraknya tuntutan pemekaran daerah yang seolah tidak terbendung merupakan dampak dari kebijakan desentralisasi yang mulai diterapkan pada era reformasi tahun 1999. Kebijakan desentralisasi tentu bukan faktor tunggal karena ada faktor penyebab lainnya yang sebagai faktor pendorong tuntuitan pemekaran daerah seperti perubahan situasi politik di Indonesia. Dewasa ini fenomena pemekaran daerah menjadi wacana yang ramai dan tidak asing lagi dibicarakan masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat ”biasa”, akademisi, politisi, para aktivis demokrasi, dan lain-lain. Bahkan Profesor Eko Budiaharjo menggambarkan bahwa istilah ”pemekaran” seolah sudah menjadi semacam mantra, atau virus yang menyebar ke segenap pelosok Nusantara (Kompas, 19/01/2008). Tidak dapat dipungkiri dalam perkembangannya pemekaran daerah telah menjadi komoditas politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia pada masa transisi demokrasi ini.

Penambahan Daerah Baru

Dari perspektif kewilayahan, terminologi ”pemekaran” menurut Profesor Eko Budihardjo merupakan istilah yang salah kaprah karena dalam ”pemekaran” wilayah yang terjadi bukan pemekaran tetapi lebih tepat penciutan atau penyempitan wilayah (Kompas, 19/01/2008). Dari perspektif kewilayahan memang istilah ”pemekaran” tidak tepat digunakan mengingat dengan ”pemekaran” suatu daerah justru mengalami penyempitan bukan perluasan wilayah. Dalam melihat pemekaran daerah banyak perspektif yang bisa digunakan antara lain perspektif hukum dan kebijakan, perspektif penataan wilayah, perspektif politik administrasi pemerintahan, dan lain-lain.

Dari perspektif politik administrasi pemerintah pusat, pembentukan daerah baru merupakan upaya penambahan jumlah daerah baru (kota/kabupaten/propinsi) atau bisa disebut pemekaran. Ini ditunjukkan, paling tidak sejak reformasi tahun 2009 hingga awal 2008 telah terbentuk 164 pemekaran daerah baru (Policy Paper DRSP) dan pada pertengahan 2008 telah terbentuk 191 penambahan daerah baru terdiri dari tujuh provinsi, 32 kota, dan 152 kabupaten (Kompas, 19/01/2008). Ini berarti selama kurun kurang lebih enam bulan saja telah mengalami pemekaran daerah sebanyak 27 daerah. Dengan penambahan daerah baru tersebut maka beban anggaran yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat akan bertambah. Dengan penambahan daerah baru (propinsi, kabupaten/kota) akan terjadi penambahan jumlah kepala daerah dan struktur di bawahnya yang itu semua membutuhkan biaya rutin.

Padahal kalau kita simak, tahun sebelumnya (2007) pemerintah pusat telah melakukan upaya pengendalian pembentukan daerah baru dengan secara gencar menyerukan moratorium pemekaran. Pada tahun 2007 itu pula pemerintah mencoba mengubah Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pemekaran (PP 129 tahun 2000) yang disinyalir oleh banyak pihak sebagai penyebab maraknya tuntutan pemekaran dengan PP yang baru (PP 78/2007) yang mencantumkan persyaratan pemekaran yang relatif lebih sulit. Tetapi tuntutan pemekaran tetapbergaung keras. Maraknya tuntutan pemekaran telah membuat pemerintah pusat kewalahan terutama karena beban keuangan yang harus ditanggung akibat penambahan daerah baru semakain meningkat. Sementara itu dampak positif bagi masyarakat kurang signifikan dibandingkan dengan pengeluaran anggaran yang yang dikeluarakan oleh pemerintah pusat.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Percik bekerjasama dengan Democratic Reform Suport Program (DRSP), salah satu daya tarik tuntutan pembentukan daerah baru adalah adanya kebijakan dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terdiri dari Dana Aloksi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada 2003, sebanyak 22 kabupaten/kota baru sebagai hasil pemekaran sepanjang 2002 telah menerima DAU sebesar Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun (Syaril Syahrial dalam http://www.lpem.org). Besarnya jumlah transfer DAK dan DAU telah menjadi daya tarik yang bisa mengesampingkan pertimbangan lain. Apabila benar bahwa faktor ekonomi ini telah mendominasi tuntutan pemekaran maka sependapat yang dengan Jusuf Kalla (Kompas, 16/10/2007) semangat pemekaran daerah ini telah mengingkari semangat otonomi daerah, karena yang terjadi adalah ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat terutama dalam pembiayaan pembangunan daerah. Dalam hal ini kita seing lupa bahwa otonomi harus dimaknai bukan hanya kemandirian kewenangan tetapi harus dimaknai juga sebagai upaya kemandirian finansial (pembiayaan).

Komoditas Politik

Dalam perspektif politik, pemekaran daerah telah dijadikan komoditas politik oleh elite-elite untuk mewujudkan ambisi politiknya, misalnya oleh elite yang gagal dalam pilkada. Isu-isu dimarginalkannya satu etnis oleh etnis lain dikomodifikasi sedemikian rupa dan direproduksi terus menerus oleh elite politik untuk mempercepat proses pemekaran. Pemekaran menjadi alat perjuangan politik yang justru mengesampingkan kepentingan rakyat. Itulah sebabnya meskipun di beberapa daerah pemekaran dirasakan manfaatnya antara lain dengan adanya peningkatan pelayanan publik tetapi di beberapa tempat belum membuahkan hasil yang signifikan. Sebagai contoh, dari sebuah pemberitaan (Kompas, 3/11/07,) meskipun pada tahun 2007 Maluku Utara menginjak usia delapan tahun sejak berdiri sebagai daerah baru, ternyata kemiskinan masih merajalela. Pemerintah yang baru masih belum mampu mengelola sumber daya alam yang berlimpah-limpah, pejabat cenderung, sibuk mengejar dana dekonsentrasi dan melupakan kekayaan alamnya sendiri. Bahkan sampai sekarang, Maluku Utara terus didera konflik berkepanjangan pasca Pemilihan Gubernur.

Pada peristiwa lain, pemekaran daerah telah menjelma menjadi ajang bagi perluasan praktek-praktek korupsi. Dengan meningkatnya transfer DAU dan DAK, maka semakin banyak proyek yang dikerjakan di daerah baru. Transfer dana dari pusat yang berupa DAU dan DAK yang diharapkan bisa menciptakan kesejahteraan rakyat ternyata jauh panggang dari api.

Untuk meletakkan cita-cita pemekaran pada relnya, menurut hemat saya melakukan pembenahan di level kebijakan saja belumlah cukup. Pembenahan juga harus dilakukan pada level kesadaran politik para elite terutama yang ingin menjadi pelayan publik supaya tidak menjadikan pemekaran sebagai komoditas politik semata. Menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk meluruskan semangat pemekaran pada jalur semula yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

13 Agustus 2008

Kalau Bisa Mengelak Mengapa Harus Mengakui?

Oleh: Slamet Luwihono


Sebagian besar orang terperangah mendengar kasus penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) oleh KPK karena diduga menerima suap dari Artalyta Suryani (Ayin) yang diikuti adanya indikasi keterlibatan pejabat-pejabat tinggi di Kejaksaan Agung.

Belum lagi peristiwa yang mencoreng wajah hukum di Indonesia surut dari pembicaraan umum, kita kembali disuguhi dengan berita penangkapan seorang anggota DPR, Al Amin Nasution, yang tertangkap tangan menerima suap dari Sekretaris Daerah Bintan, Azirman, terkait perubahan kawasan hutang lindung di Bintan. Dalam waktu dan kasus yang berbeda disusul kemudian adanya penangkapan anggota DPR Yusuf Erwin Faisal dan Bulyan Royan. Lebih menghebohkan lagi ada kurang lebih 52 orang anggota Komisi IX periode 1999-2004 menerima dana Bank Indonesia antara Rp 250 juta sampai Rp 1 Milyart seperti diungkapkannya oleh Hamka Yandu. Kalau semua dugaan itu benar, DPR sebagai tempat dari para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam kenyataannya telah melukai hati rakyat dengan ambisi-ambisi pribadinya dalam menumpuk kekayaan.

Buntut dari peristiwa-peristiwa tersebut kita kembali disuguhi berbagai macam trik dan strategi berupa penyangkalan, bantahan, dan pengelakan dari tuduhan yang tujuannya satu, untuk menyelamatkan diri, mempertahankan nama baik, dan juga mempertahankan jabatan yang masih disandangnya. Bentuk bantahan tersebut diskenario sedemikian rupa dalam sesuatu yang seolah-olah rasional.

Daya Tarik Uang

Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang yang menduduki jabatan di pemerintahan apakah itu jaksa, bupati, sekretaris daerah, anggota legislatif, jaksa, dan lain-lain telah melakat identitas baik personal maupun kelompok sebagai yang terhormat. Dalam masyarakat yang kapitalistik, penghargaan terhadap seseorang sering dilekatkan dengan kekayaan materiil.

Kekayaan materiil telah menjadi sumber utama memperoleh kekuasaan baik formal maupun non formal. Dalam kasus jaksa UTG misalnya, kita dapat melihat bagaimana Ayin demikian “berkuasanya” di lingkungan Kejaksaan Agung sehingga bisa mengarahkan skenario persidangan kepada seorang jaksa sekaliber UTG dan bahkan mungkin dua pejabat penting di Kejaksaan Agung. Kuat indikasi keberhasilan seorang Ayin masuk dalam lingkaran Kejaksaan Agung tidak lepas dari penguasaan Ayin terhadap kekayaan material yang dimiliki serta kemampuan membagi-bagikannya di kalangan pejabat kejaksaan.

Harga diri bagi pejabat dan pengusaha yang dalam masyarakat menempati posisi yang terhormat harus dijaga sedemikian rupa oleh yang memilikinya. Segala perbuatan yang bisa menurunkan kehormatan harus ditutupi dan dibantah sedemikian rupa. Dalam rangka mempertahankan harga diri dan identitas personal/kelompok itu para pejabat dan sebagian anggota DPR yang sedang terkena kasus dugaan suap beramai-ramai melakukan penyangkalan dan pengelakan.

Mekanisme pertahanan diri

Dalam kehidupan bermasyarakat tentu kita tidak asing dengan pengelakan atau penyangkalan. Pengelakan dan penyangkalan ini merupakan upaya menutupi diri dari sesuatu atau perbuatan yang bisa menurunkan harga diri. Umumnya orang-orang terpandang ingin selalu kelihatan “bersih” di mata masyarakat. Jaksa yang sering menangani kasus suap-menyuap tidak mau kelihatan kalau dia sendiri justru menjadi penerima suap. Anggota DPR yang terhormat yang sudah digaji tinggi ditambah fasilitas yang begitu banyak tidak mau kelihatan kalau ia melakukan pemerasan dan minta uang suap. Para pejabat tersebut pasti tidak mau apabila kekurangan dalam hal moralitas tersebut ketahuan oleh masyarakat banyak.

Bagaimana kita melihat jaksa UTG dan Ayin membungkus perbuatan suap dengan bungkus pertama-tama jual beli permata yang oleh Kejaksaan Agung diterima mentah-mentah sebagai suatu kebenaran. Indikasi penerimaan Kejaksaan Agung terhadap pengelakan jaksa UTG ini terlihat dari penerapan sanksi oleh Kejaksaan Agung kepada jaksa UTG dengan alasan melanggar kode etik kejaksaan karena melakukan jual beli permata. Menurut Kejaksaan Agung seorang jaksa tidak etis nyambi sebagai pedagang permata. Kejaksaan Agung telah menjadi penguat dari pengelakan UTG. Upaya Kejagung ini tentu bukan tanpa alasan, karena bagaimanapun pengungkapan suap yang melibatkan UTG akan berpengaruh terhadap posisi Kejagung.

Dalam perjalanannya, bungkus jual beli permata UTG ini diganti dengan bungkus bisnis perbengkelan yang mungkin dianggap lebih rasional. Dalam hal ini UTG mungkin lebih berpengalaman melakukan penyangkalan karena dia seorang jaksa yang kesehariannya berhadapan dengan “kriminal” yang kebanyakan melakukan penyangkalan terhadap dakwaan. Demikian juga Azirman yang membungkus uang suap sebesar 33 ribu dolar Singapura sebagai uang untuk membeli mobil di Jakarta. Ada upaya dibawah sadar dari Azirman untuk menyelamatkan diri dari situasi yang sedang mengancamnya. Apabila tidak tertangkap tangan, pengelakan yang paling mudah dilakukan adalah dengan mengatakan tidak menerima uang suap itu, seperti yang ramai-ramai dikemukakan oleh para anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang disebut oleh Hamka Yandu menerima aliran dana BI.

Bisnis permata, perbengkelan, jual beli mobil, dan bahkan mengaku tidak menerima uang suap tentu dianggap lebih “bersih” dari pada menerima suap yang selain bisa menurunkan harga diri juga bisa memasukkan para pejabat itu ke penjara bahkan sampai ke pemecatan.

Dalam perspektif psikologi, penyangkalan dan pengelakkan bisa dipahami sebagai apa yang oleh Freud disebut sebagai “ego defenses” (pertahanan-pertahanan ego). Ketika para pejabat tersebut berada dalam situasi yang mencemaskan, mengancam harga diri, ketidakberdayaan, dan situasi-situasi lain yang akan membahayakan diri (posisi/jabatan) maka akan muncul upaya-upaya untuk bisa keluar dari situasi demikian. Penyangkalan dan pengelakan merupakan upaya melindungi diri fakta-fakta yang sebenarnya yang memalukan dan menjadi ancaman. Selanjutnya Freud menyatakan bahwa mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur penipuan diri (Zainun Mu’tadin, http://www.e-psikologi.com).

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak ditunjukkan oleh kepintaran para pejabatnya melakukan penyangkalan dan pengelakan untuk menutupi perbuatan tercelanya, tetapi bagaimana para pejabat bisa menjaga kepercayaan masyarakat dan merasa malu melakukan perbuatan yang bisa mencoreng martabat sebagai seorang birokrat. Upaya menyelamatkan diri dari sanksi hukum, moral dan sosial lebih baik tidak dilakukan dengan penyangkalan dan pengelakan tetapi dengan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dan perbuatan yang bisa melukai hati rakyat.

05 Agustus 2008

KAUM BORO: Refleksi Kehidupan Desa-Kota

Oleh : Slamet Luwihono

Pendahuluan

Bukan upaya yang mudah untuk memberikan gambaran tentang desa dan kota secara utuh, disamping karena kompleksitas permasalahan yang ada di desa maupun di kota juga karena sifat dinamis desa dan kota sebagai akibat pembangunan. Gambaran yang diberikan sekarang tentang desa atau kota belum tentu relevan untuk kondisi dua tahun mendatang. Dengan demikian pembahasan tentang desa seringkali tidak dapat dilepaskan dari terjadinya perubahan sosial desa yang demikian cepat. Rogers dalam bukunya Social Change in Rural Societies: An Introduction to Rural Sociology, memandang perubahan sosial sebagai suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi dari suatu sistem kemasyarakatan.[1] Perkembangan yang cepat tersebut tentunya tidak lepas dari perkembangan teknologi pertanian dan juga perubahan struktur perekonomian dan politik. Perubahan sistem produksi telah membawa perubahan yang mendasar pada system pertanian yang pada gilirannya berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat pedesaan sebagai petani atau menggantungkan hidupnya pada pertanian di pedesaan.

Secara sosiologis, Maschab menggambarkan desa sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan di mana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam. Lebih jauh lagi Maschab menyebukan bahwa desa diasosiasikan dengan satu masyarakat yang hidu sederhana, pada umumnya hidup dari lapangna pertanian, ikatan sosial, adat dan tradisis masih kuat, sifat jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif masih rendah dan sebagainya.[2] Dalam perkembangannya, sebagai akibat dari arus modernisasi sebagian desa telah mengalami perubahan secara drastis dan jauh dari kondisi-kondisi yang banyak digambarkan oleh para ahli. Modernisasi sebagai satu pendekatan pembangunan telah juga membawa perubahan sosio-kultur desa. Dalam konteks yang demikian, desa tidak lagi bisa didefinisikan sebagai tempat tempat tertentu yang masih jujur dan bersahaja, lugu dan masih menjalin ikatan-ikatan sosial secara informal. Meskipun demikian, dalam kenyataannya dampak modernisasi terhadap masyarakat desa memang tidak dapat digeneralisir. Secara nyata masih ada masyarakat desa yang masih hidup mematuhi tradisi dan adat istiadat turun temurun, dan banyak diantaranya dalam kondisi tidak maju atau terbelakang menurut ukuran modernitas. Desa di Badui dalam atau pada umumnya desa-desa di luar Jawa misalnya merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi kepercayaan tradisional dan adat sehingga derasnya arus modernisasi tidak mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sebagian desa lagi, terutama desa-desa di luar Jawa, secara geografis terletak sangat jauh dari dunia modern sehingga sulit untuk dijangkau dan akibatnya tidak mudah untuk dipengaruhi.[3]

Pada masa lampau penduduk pedesaan pada umumnya hidup dengan sistem subsisten, tetapi paradigma modernisasi telah mengubah mode of production dari tidak berorientasi keuntungan ke berorientasi pada keuntungan. Dengan perkembangan-perkembangan yang ada di pedesaan dalam kenyataannya untuk kasus-kasus desa tertentu terutama di Jawa dari karakteristik dan fisik menjadi sulit membedakan antara desa dengan kota. Perbedaan-perbedaan desa-kota sangat tepat dinilai dengan indikator yang mengukur kesejahteraan secara langsung. Demikian juga kesehatan dan hidup mengandung nilai universal dengan demikian memberikan ukuran yang mengandung validitas lintas - kultural.[4] Indikator kesejahteraan ini lebih dimaknai sebagai kesejahteraan secara ekonomi. Kota dipandang lebih sejahtera daripada desa yang tidak sejahtera dari ukuran ekonomi. Pemaknaan yang demikian ternyata berdampak terhadap cara pandang orang desa terhadap keadaan kota yang digambarkan sebagai menjanjikan ketersediaan sumber-sumber ekonomi untuk kesejahtreraan. Sementara itu desa dipandang sebagai tempat yang sulit sebagai tempat untuk meningkatkan kesejahteraan. Terlepas dari tingkat kebenaran cara pandang tersebut, cara pandang dari sisi kesejahteraan ini telah menjadi salah satu pendorong orang-orang desa berpindah (melakukan urban) ke kota dalam rangka untuk meningkatkan sumber penghasilan.

Fenomena boro menjadi upaya yang sering ditempuh oleh masyarakat desa yang merasa kesulitan meningkatkan kesejahteraan ekonominya untuk pergi ke kota. Boro menjadi upaya alternatif bagi masyarakat desa untuk mencari pekerjaan ke kota karena tertutupnya peluang mencari pekerjaan di desa yang dipandang tidak dapat menjanjikan. Meskipun boro mengandung resiko-resiko sosial, psikologi, ekonomi dan lain-lain, kesenjangan kesejahteraan desa-kota yang begitu drastis lebih menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan atas dasar resiko-resiko tersebut. Apa peranan yang diberikan oleh kaum boro terhadap kehidupan sosial di desa asalnya dan bagaimana kehidupan kaum boro dalam menjalani kehidupan di kota yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan sosial di desa asalnya ? Permasalahan-permasalahan tersebut yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.

Kaum Boro dan Peranannya Dalam Kehidupan Sosial Desa

Pengertian boro dalam konteks ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian migrasi musiman seperti yang dikemukakan oleh Alan Gilbert & Josef Gugler. Gilbert dan Gugler[5] mendeskripsikan migrasi musiman sebagai berikut:

"Pemisahan keluarga seringkali menciptakan bentuk migrasi musiman. Setelah masa kerja yang mungkin berakhir 6 bulan atau 2 tahun, migran tersebut kembali lagi untuk bermukim dengan keluarga besar mereka. dalam kasus yang ideal , kepulangan kaum migran bersamaan dengan kebutuhan akan tenaga kerja di sawah atau ladang di desa. Di beberapa tempat, kaum migran menjadi tenaga kerja kontrakan , misalnya, tenaga mereka digunakan dalam masa yang telah ditentukan dan disediakan biaya transport untuk pulang pergi. Berulangnya perpindahan musiman ini umum sifatnya, sehingga banyak kaum migran yang bertambah luas pengalaman kotanya. Upaya spekulasi migrasi musiman merupakan respon awal "masyarakat tradisional" terhadap peluang-peluang baru untuk mendapatkan upah dan barang manufaktur, untuk menunjukkan kepada "orang-orang primitif" yang sedang membuat barang pintas untuk masuk ke dalam suatu lingkungan yang asing."

Dari deskripsi tentang migrasi musiman tersebut, kaum boro dapat digunakan untuk menunjuk sekelompok orang desa yang pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Biasanya masyarakat desa terutama di Jawa, menyebut kaum boro dengan sebutan wong boro. Pada umumnya wong boro ini tinggal di kota selama lebih kurang tiga hingga enam bulan untuk bekerja mengumpulkan penghasilan, selanjutnya mereka pulang kembali ke desanya untuk menjenguk keluarga dan atau tidak pulang tetapi mengirim penghasilan yang mereka peroleh selama bekerja di kota. Setelah pulang di desa asalanya selama kurang lebih satu bulan mereka kembali ke kota untuk bekerja. Tidak jarang juga kaum boro ini pulang ketika musim tanam telah tiba, karean tenaga mereka dibutuhkan selama musim tanam di desa tersebut. Setelah musim tanam selesai, kaum boro ini kembali ke kota sedangkan yang merawat tanaman adalah anggota keluarga yang tinggal di desa. Biasanya dalam melakukan boro, kaum boro tidak mengajak keluarganya (suami dan anak-anaknya). Dengan demikian boro merupakan adaptasi terhadap pemisahan keluarga: boro sebagai bentuk migran yang pulang secara teratur kepada keluarganya dalam jangka waktu yang lama dan dia tetap aktif terlibat dalam permasalahan keluarga besar, dan urusan desanya (lihat, Alan Gilbert & Josef Gugler, 1996: 76).

Determinan perilaku migrasi ini bisa dianalisis dalam beberapa kerangka sistem antara lain:[6]

1. Sistem preferensi, menggambarkan ketertarikan relatif pada berbagai tempat sebagai tujuan dari para pelaku migrasi potensial. Suatu daya tarik wilayah merupakan perimbangan antara nilai-nilai positif dan negatif yang ditawarkan wilayah tersebut. Diantara nilai-nilai positif yang paling penting adalah prospek pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dari pada di desa tempat asalnya. Namun, boro ini juga berdampak pada nilai-nilai negatif berupa gangguan terhadap hubungan interpersonal denga kerabat dan teman-teman di desa serta kebutuhan untuk mempelajari adat istiadat baru di desa asal.

2. Sistem harga, menjelaskan biaya-biaya berupa uang, energi dan waktu yang digunakan untuk melakukan boro ini.

3. Total sumber daya, yang tersedia untuk semua tujuan juga mempengaruhi keputusan untuk melakukan boro ini.

Disamping determinan-determinan tersebut, boro juga menimbulkan dampak sebagai berikut:

1. Dapat meningkatkan penghasilan bagi kaum boro. Bersamaan dengan konskuensi positif ini terdapat konskuensi lain bernilai negatif bagi pembangunan masyarakat desa berupa kerugian di bidang investasi karena investasi yang semula dimaksudjkan untuk menyelenggarakan dan memberi pendidikan pada anak-anak tetapi pada akhirnya setelah dewasa mereka membaktikan dirinya di tempat lain karena desa dipandang tidak menjanjikan dari sisi materi.

2. Boro dapat mengurangi (meskipun kadang kurang signifikan) ketidakseimbangan/kesenjangan pendapatan antara kota - desa. Ini bisa terjadi karena kaum boro cenderung bergerak dari wilayah berpendapatan rendah (desa) ke wilayah berpendapatan tinggi (kota).

Dari sisi perilaku sosial, kehidupan kota yang meskipun dijalani secara singkat telah dapat merubah pola kehidupan desa. Begitu kaum boro sampai di kota ia dituntut untuk beradaptasi perilaku yang memungkinkan ia mencapai keberhasilan ekonomi secara efektif. Kaum boro yang datang dalam jangka waktu yang singkatpun tidak lagi sepenuhnya bersikap seperti orang desa. Meskipun mereka pada tahap-tahap awal kedatangan ke kota mampu mempertahankan pola dan gaya kehidupan desa dan mampu memegang nilai-nilai desanya tetapi desakan/tuntutan untuk menyesuaikan dengan kehidupan kota sangat kuat sehingga nilai-nilai, gaya hidup dan pola kehidupan desa tergeser. Pertimbangan utama pergeseran nilai, gaya dan pola hidup lebih didominasi oleh pertimbangan adanya kesempatan memperoleh peningkatan ekonomi. Komitmen yang dimiliki kebanyakan kaum boro terhadap komunitas asal dapat menjadikan untuk tidak menjalani kehidupan kota di kota secara penuh.

Investasi sosial sering juga dilakukan oleh kaum boro berupa pengiriman uang ke keluarga mereka, membantu famili untuk mengikuti pendidikan di kota. Semua itu dilakukan seringkali bukan atas dasar kerelaan untuk berinvestasi mengembangkan desanya tetapi di balik semua itu tersembunyi kepentingan yaitu untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka di desa asalnya. Dalam benak mereka tidak ada keinginan untuk selamanya bermukim di kota dan suatu waktu akan kembali ke desa asalnya.

Diantara kaum boro dalam satu kota biasanya terjalin ikatan yang kuat dan komunikasi selalu dijaga. Misalnya orang boro yang baru pulang ke kampungnya (biasanya kepulangan ke kampung tidak dilakukan secara bersamaan) sering membawa informasi dari desa asalnya untuk disampaikan ke orang boro lainnya sehingga orang-orang boro tidak ketinggalan perkembangan informasi di desanya. Mereka selalu mendapat informasi jika ada orang yang mempunyai iakatan keluarga di desanya sedang sakit, tetangganya yang hendak mempunyai hajatan (pesta perkawinan, misalnya), tentang pembangunan yang yang hendak dilaksanakan di desanya bahkan tentang dinamika politik lokal didesanya seperti pemeilihan kepala desa atau kepala dusun. Orang boro yang pulang seringkali dijadikan sarana/media informasi yang mempunyai peranan strategis bagi kaum boro dalam rangka tetap menjalin hubungan-hubungan sosial di desanya.

Peran Kaum Boro Dalam Pembangunan Desa

Dari sisi ekonomi kaum boro dipandang lebih mempunyai kekuatan finansial yang riil dari pada orang desa yang tetap tinggal dan bekerja sebagai petani di desa. Karena pendangan yang demikian kaum boro seringkali menjadi sasaran mobilisasi bagi pembangunan fisik di desa. Peranan kaum boro dalam pembangunan desa ini dideskripsikan oleh Dwi Wuryaningsih sebagai berikut:[7]

"Pembangunan terbesar yang dilakukan di Desa Kedungringin adalah jembatan Sungai Serang. Pembangunan jembatan sungai serang yang kono menghabiskan dana ratusan juta rupiah didukung oleh seluruh warga desa baik ulama, warga setempat maupun orang-orang boro......... Pada hari lebaran banyak orang-orang boro yang pulang ke kampung. Matdarto (cat. Ketua Kaum boro Kedungringin di Jakarta) mengumpulkan orang-orang boro itu di rumahnya. Dalam pertemuan itu Matdarto menyampaikan gagasannnya untyuk merenovasi Masdjid di Dusun Krajan. Gagasan itu disambut baik oleh orang-orang boro. Untuk merealisasikan gasgasan tersebut, Matdarto, mengadakan pertemuan bagi orang-orang boro setelah mereka sampai di Jakarta untuk mengumpulkan sumbangan dari orang-orang boro.

Demikian juga yang disampaikan oleh Matharto, pengurus kaum boro di Jakarta dari dusun Krenceng, Desa Kedungringan bahwa pembangunan di dusunnya banyak mendapat sumbangan dari kaum boro. Ditambahkan pula oleh Matharto jika ide pembangunan di dusunnya datang dari Pak kadus, jalannya pemabngunan itu seringkali menemui kendala. Karean Pak kadus hanya sebatas mempunyai ide saja sedangkan dana masih harus mencari dari sumbangan warga yang belum tentu setuju dengan gagasan Pak kadus. Berbeda jika ide pembangunan datang dari orang-orang boro. Selain ide, orang boro juga mempunyai dana untuk membiayai pembangunan itu"

Selain kekuatan finansial secara riil yang dimiliki oleh kaum boro yang dapat menunjang pembangunan fisik di desa seperti dupaparkan dalam hasil penelitian di atas, ternya kaum boro juga mempunyai kekuatan politik yang dapat mempengaruhi dinamika [politik lokal di pedesaaan sebagaimana dipaparkan di bawah ini:[8]

"Terpilihnya Hadi Nurdin sebagai kades, tidak terlepas dari peran kaum boro. Semenjak orang-orang boro di Jakarta mendengar bahwa Hadi Nurdin hendak maju sebagai calon Kades, mereka menyatakan kesanggupannya untuk mendukung Hadi Nurdin. Hubungan yang terjalin dengan baik antara hadi Nurdin dengan orang-orang boro telah melatarbelakangi dukungan orang-orang boro dalam pencalonnanya. Ketika Hadi Nurdin kuliah di IKIP Negeri Jakarta dan tinggal bersama kakaknya, ia cukup dekat dengan orang-orang boro. Seringkali orang boro yang mendapat kesulitan, datang kepada Hadi Nurdin untuk meminta bantuannya. Hal inilah yang menjadikan munculnya kedekatan orang-orang boro dengan Hadi Nurdin."

Dari kedua paparan tersebut di atas dapat diketahui bahwa pandangan orang desa yang masih tetap tinggal dan bekerja di desa terhadap orang-orang boro adalah didominasi pandangan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan. Dalam kenyataannya memang tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat pendapatan kaum boro dapat dikatakan lebih baik daripada orang-orang yang tetap tinggal di desa. Karena pandangan yang demikian tersebut maka kaum boro seringkali dijadikan tumpuan untuk meminta bantuan baik bantuan yang bersifat individual maupun yang bersifat untuk kepentingan masyarakat desa seperti pembangunan tadi. Selain sebagai tempat meminta dukungan finansial, kaum boro ternyata juga dijadikan tempat memobilisai masa untuk pencarian dukungan politik seperti dukungan dalam pencalonan Kades. Dukungan politik dalam pencalonan kadesa ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari adanya kemmapuan finansial yang dimiliki kaum boro mengingat pencalonan kades seringkali tidak dapat dilepaskan dari money politic. Diharapkan selain dukungan suara memang dukungan uang juga bisa diberikan oleh kaum boro ini.

Penutup

Kesenjangan tingkat kesejahteraan antara desa dengan kota telah menjadi faktor pendorong terjadinya boro ini. Dari sisi ekonomi, kota yang dipandang lebih sejahtera daripada desa telah mendorong orang desa untuk melakukan boro ke kota untuk meningkatkan kesejahtraannya. Pabrik modern dan peluang adanya lapangan kerja di kota telah menanamkan harapan baru bagi masyarakat desa untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Alasan ekonomi menjadi alasan yang dominan terjadi arus boro dari desa ke kota. Ini ditunjukkan dengan adanya fenomena boro dari wilayah yang tingkat kesejahteraan ekonomi rendah ke wilayah yang mempunyai tingkat kesejahteraan tinggi.

Bagi masyarakat desa fenomena boro telah membawa dampak baik yang bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif karena secara fisik dapat membantu pelaksanaan pembangunan dan peningkatan pendidikan dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya proses pemaksaan perilaku kehidupan kota di desa yang seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di desa. Terlepas dari dampak yang ditimbulkannya, fenomena boro merupakan dampak dari penerapan pembangunan dengan pendekatan/paradigma pertumbuhan yang berpusat pada kota-kota besar. Karena pertumbuhan dirasa tidak dapat menetes ke wilayah pedesaan maka orang-orang desalah yang harus menjemput pembagian hasil pembangunan dengan datang ke kota. Dengan cara demikianlah hasil pembangunan dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah desa.§

Daftar Pustaka

1. Alan Gilberrt dan Josef Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan Di Dunia Ketiga, Tiara wacana, Jogyakarta.

2. A. Surjadi, 1995, Pembangunan Masyarakat Desa, Mandar Maju, Bandung,

3. Bahreit T. Sugihen, 1997, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar), RajaGrafindo Persada, Jakarta,

4. C. Dwi Wuryaningsih, 2001, Kiprah Kaum Boro Dalam Kehidupan Masyarakat Desa: Studi Tentang Kaum Boro Di Desa Kedungringin, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semrang, Makalah disajikan pada Seminar Dinamika Politik Lokal P3PL-Petrcik, di Bandungan, tanggal 26 Juni 2001.

5. Machievelli, 2002, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, edisi kedua,

6. Suhartono, 2001, Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

*******



[1] Bahreit T. Sugihen, 1997, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar), RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 55).

[2] Lihat Suhartono, 2001, Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, hal. 17-18.

[3] Lihat juga A. Surjadi, 1995, Pembangunan Masyarakat Desa, Mandar Maju, Bandung, hal. 5.

[4] Alan Gilberrt dan Josef Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan Di Dunia Ketiga, Tiara wacana, Jogyakarta, h. 58.

[5] Alan Gilbert & Josef Gugler,1996, Urbanisasi dan Kemiskinan Di Dunia Ke Tiga, Tiara Wacana Jogja, Yogyakarta, hal. 76.

[6] Machievelli, 2002, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, edisi kedua, hal 662.

[7] C. Dwi Wuryaningsih, 2001, Kiprah Kaum Boro Dalam Kehidupan Masyarakat Desa: Studi Tentang Kaum Boro Di Desa Kedungringin, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semrang, Makalah disajikan pada Seminar Dinamika Politik Lokal P3PL-Percik, di Bandungan, tanggal 26 Juni 2001.

[8] Ibid

KONSEP DAN MEKANISME PELAYANAN PUBLIK DASAR

Oleh:

Slamet Luwihono*

1. Pengantar

Dalam masa transisi otonomi daerah ini, kesejahteraan masyarakat hendaknya tetap menjadi acuan dalam merumuskan peran pemerintah. Perumusan ulang tentang peran pemerintahan meerupakan bagian dari reformasi sistem pemerintahan, selain penataan kelembagaan pemerintahan dari tingkat pusat sampai daerah. Dengan perumusan ulang tentang peran pemerintah, maka dapat dipetakan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik, kerena salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik sudah barang tentu tidak dapat dilayani secara keseluruhan oleh pemerintah pusat dan untuknya perlu didistribusikan ke daerah. Dalam konteks yang demikian, sistem desentralisasi menjadi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi ini dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Dengan demikian otonomi bukanlah hanya pelaung tetapi sekaligus sebagai tantangan untuk menggapai kesejahteraan rakyat.

Dalam sistem otonomi daerah telah terjadi perpindahan sebagian kewenangan yang tadinya berada di pemerintahan pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga daerah otonom dapat lebih tanggap terhadap tuntuntan masyarakat berdasar kemampuan dan potensi yang dimiliki oelh masyarakat di daerah tersebut. Bangunan sistem dan kelembagaan menjadi penting dilakukan sebagai dasar merancang standard pelayanan publik yang optimal. Idealnya otonomi daerah memberi dampak nyata dalam peningkatan layanan oleh pemerintah kepada masyarakat. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah membuka peluang terjadinya penyelenggaraan layanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dalam peningkatan layanan publik. Kemajuan teknologi juga diharapkan menjadi alternative terpenuhinya prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut hendaknya menjadi acuan dalam penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah di setiap tingkatan pemerintahan.

Untuk terjaminnya kesejahteraan social, konstitusi kita menjamin setiap orang:

  • “…. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan…”
  • “…. berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan…”
  • “…. berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secar utuh sebagai manusia yang bermartabat; dan berhak mempunyai hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun…”

Untuk memenuhi hak warga negara tersebut Negara mempunyai kewajiban:

§ “…. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan…”

§ “…. bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak…”

Berdasarkan desentralisasi pelayanan public, telah terjadi pembegian kekuasaan dan/atau wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan/atau mengelola fungsi public dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berkaitan dengan desentralisasi pelayanan publik, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14, pemerintah daerah mempunyai fungsi :

§ penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

§ penyediaan sarana dan prasaran umum;

§ penanganan bidang kesehatan;

§ penyelenggaraan pendidikan;

§ penanggulangan masalah sosial;

§ pelayanan bidang ketenagakerjaan;

§ fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

§ pelayanan pertanahan;

§ pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

§ palayanan administrasi umum pemerintahan;

§ pelayanan administrasi penanaman modal;

§ penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.

2. Pelayanan Publik: Pengertian, Jenis, Prinsip, dan Asas

2.1. Pengertian

Seiring dengan penerapan sistem desentralisasi, pelayanan publik akhir-akhir ini menjadi diskusi yang hangat dan menjadi perhatian di kalangan masyarakat. Sebelumnya, isu-isu pelayanan publik ini kurang menjadi perhatian karena berkembang asumsi bahwa pelayanan publik itu hanyalah urusan pemerintah saja, mulai dari proses perumusan kebijakan, implementasi, sampai dengan evaluasi. Masyarakat seringkali tidak bisa mengakses segala informasi yang berkaitan dengan pelayanan publik ini. Penyelenggaraan Negara yang semakin transparan telah berdampak pada kesadaran orang untuk ikut terlibat dalam proses pelayanan publik baik dalam proses perumusan kebijakan, implementasi, sampai dengan evaluasi, dan pengawasan.

Dari sisi administrasi Negara, pelayanan publiok dipahami sebagai[2] “segala kegiatan layanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum sebagai pelaksanan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam era globalisasi dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memeberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indicator dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan negara, terdapat asas-asas umum yang harus dijadikan acuan pemerintah dalam melakukan layanan public.[3] Negara sebagai organisasi publik, pada dasarnya dibentuk untuk penyelenggaraan layanan masyarakat dan bukan dimaksudkan untuk berkembang menjadi besar dan mematikan organisasi publik lainnya.[4] Meskipun organisasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tidak ada salahnya dalam opersionalnya menganut paradigma yang dianut dalam organisasi bisnis, yaitu, efisien, efektif, dan tetap menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya.

Menurut salah satu kajian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), pelayanan publik diartikan sebagai: “suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warna Negara atau penduduk atas suatu layanan (publik)”.[5] Pengertian menurut KHN ini secara tegas menekankan bahwa pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah (negara). Batasan ini berbeda denga batasan yang diberikan oleh Menpan yang mendefinisikan pelayanan publik hanya sebagai kegiatan instansi pemerintah.

Pada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan publik merupakan amanat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara (ekskutif dan legislatif) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kesejahteraan ini dilakukan dengan memprioritaskan pelayanan-pelayanan dasar bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat yang bisa memahami pekayanan publik sebagai hak dan bukan pemberian pemerintah, apalagi seluk beluk permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagian masyarakat masih menyederhanakan pemahaman tentang pelayanan publik yang diartikan sebagai pemberian pemerintah. Dengan pemahaman yang sederhana itu, ketika sebagian rakyat memahami pelayanan public sebagai pemberian dari pemerintah, masyarakat memahami pelayanan public sebagai aktivitas belanja yang menggunakan uang pemerintah. Pemahaman yang demikian akan membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pelayanan public itu kepada pemerintahan, karena dalam pandangan masyarakat tersebut uang yang dibelanjakan untuk pelayanan public itu milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak mencampuri pengelolaan pelayanan publik.

Dengan demikian pemahaman yang benar tentang pelayanan publik ini menjadi penting. Pelayanan public harus dijadikan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan kegiatan yang dibiayai dengan uang uang public. Pelayanan publik ini mempunyai arti penting terutama bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pelayanan publik haruslah ditujukan untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar manusia. Menurut Jim St. George[6], pengertian hak-hak dasar manusia tersebut sebagai hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu untuk membebaskan dirinya dari kemiskinan, keterasingan, dan keterbelakangan. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk memperoleh makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar itulah yang harus menjadi prioritas terpenting dari pemerintah dalam menetapkan anggaran publik sebagai produk kebijakan. Ketiga tersebut (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat) hendaknya dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Apakah kebijakan pelayanan public pro rakyat atau tidak sebenarnya dapat dilihat antara lain dari paling tidak apakah memang kebijakan pelayanan public memenuhi ketiga hal tersebut.

Karena essensi dasar dari kebijakan pelayanan public adalah implementasi pengelolaan uang masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, maka peran masyarakat dalam management pelayanan public mempunyai makna yang penting. Peran masyarakat di sini penting dilakukan untuk menghindari berbagai penyimpangan yang akhirnya justru merugikan masyarakat. Peran tersebut tidak hanya terjadi pada proses pelaksanaan tetapi sebaiknya mulai dari proses perencanaannya, supaya dalam proses perencanaan disusun dengan memperhatikan berbagai kepentingan, saran, dan kritik dari masyarakat. Semestinya penyusunan kebijakan pelayanan public memenuhi tiga syarat, yaitu:[7] (1) Si pembuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh public (accountable); (2) Prosesnya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak mengindikasikan adanya korupsi dan kolusi (transparent); (3) Proses itu juga terbuka untuk mengakomodasi opini kritis khalayak ramai (participated).

Dalam lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph I, butir c tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga sebagai berikut:

  1. Kelompok Layanan Administratif, yaitu layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan dan penguasaan terhadap suatu barang, dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain: Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte pernikahan, akte kelahiran, keterangan kematian, Buku Pemillikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), paspor, sertifikat kepemilikan / penguasaan tanah, dan sebagainya.
  2. Kelompok Layanan Barang yaitu layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.
  3. Kelompok Layanan Jasa yaitu layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan sebagainya.

2.2. Prinsip Pelayanan Publik

Layanan publik tersebut di atas merupakan hak masyarakat yang dalam pelaksanaannya pada dasarnya mengandung prinsip-prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisplinan-kesopanan-dan keramahan, dan kenyamanan.[8] Agak berbeda dengan rumusan prinsip-prinsip layanan publik tersebut di atas, The Charter of Fundamental Right of the European Union dalam pasal 14 menyatakan prinsip-prinsip layanan publik sebagai berikut:[9]

  1. Memperoleh penanganan urusan-urusannya secara tidak memihak, adil, dan dalam waktu yang wajar.
  2. Hak untuk didengar sebelum tindakan individual apapun yang akan merugikan dirinya diputuskan.
  3. Hak atas akses untuk memperoleh berkas milik pribadi dengan tetap menghormati kepentingannya yang sah atas kerahasisaan dan atas kerahasiaan profesionalitasnya.
  4. Kewajiban pihak admisitrasi Negara untuk memberikan alasan-alasan yang mendasari keputusannya.
  5. Memperoleh ganti rugi yang ditimbulkan oleh lembaga atau aparatur pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

2.3. Asas Pelayanan Publik

Selain prinsip-prinsip di atas,dalam memberikan layanan kepada masyarakat harus berasaskan:

  1. Transparansi: bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
  2. Akuntabilitas: dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  3. Kondisional: sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi penerima layanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
  4. Partisipatif: mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
  5. Kesamaan Hak : tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
  6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban: pemberi dan penerima layanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Apabila prinsip dan asa layanan publik tersebut ditaati oleh pelaksana/pelayan publik dalam hal ini aparatur Negara, maka keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas layanan npublik tidak harus muncul. Munculnya keluhan dari masyarakat sebagai penerima layanan publik lebih banyak disebabkan belum termanifestasikannya prinsip-prinsip dan asas-asas layanan publik dalam pelaksanaan tugas aparatur Negara.

3. Kelembagaan Layanan Publik

Dalam konteks pelayanan publik dapat dapat dipetakan paling tidak tiga pelaku sebagai berikut:

  1. Penetapan kebijakan dalam layanan publik
  2. Penyedia/pelaksana layanan publik
  3. Penerima layanan publik

Di Negara-negara yang mana pemerintah sangat dominant, seringkali pemerintah mendominasi sebagai pelaku pertama sekaligus pelaku kedua, sedangkan penerima layanan publik adalah masyarakat. Dalam perkembangannya, penyedia/pelaksana layanan publik tidak harus pemerintah karena sudah banyak terjadi contoh swastanisasi layanan publik. Pihak swasta telah masuk dalam relasi layanan publik, sehingga sekarang dalam konteks layanan publik terdapat tiga pihak yang saling berinteraksi, Dalam proses layanan publik masing-masing pihak memegang fungsi dan peran yang berbeda tetapi saling berinteraksi dalam lingkaran proses layanan public.[10] Banyak model yang dicoba untuk dikembangkan berkaitan dengan penyediaan layanan publik. Berkaitan dengan layanan publik di tingkat lokal, Leach[11] mengatakan bahwa eksistensi pemerintah lokal adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menggunakan jalur atau mekanisme apapun yang paling memadai, apakah melalui pemerintah langsung, sektor swasta, maupun masyarakat. Savas (Savas, 1994) mengemukakan sepuluh model hubungan antara tiga pihak dalam layanan publik, yaitu:[12]

  1. Government service
  2. Government Vending
  3. Intergoverment Agreement
  4. Contract
  5. Franchise
  6. Grant
  7. Voucher
  8. Market
  9. Voluntary
  10. Self Service

4. Partisipasi Publik Dalam Pelayanan Publik

4.1. Pengertian Partisipasi

Sistem desentrasliasi diterapkan sebagai instrument untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan, dan partisipasi masyarakat, serta daya saing daerah dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Pelayanan public sebagai salah satu produk kebijakan dari pemerintah dalam pelaksanaannya haruslah tetap mengacu pada tujuan kerangka besar yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui salah satunya partsipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu nilai yang harus dikembangkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Gagasan partisipasi publik dalam pelayanan public pada dasarnya adalah satu ide untuk memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, terutama dalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi pelayanan publik. Partisipasi masyarakat dalam implementasi pelayanan publik ini merupakan upaya untuk melakukan pembatasan kekuasaan pengelolaan pelayanan publik supaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan untuk melakukan control sosial terhadap implementasi pelayanan publik. Dengan adanya partisipasi dalam pelayanan publik, diharapkan pemerintahan tidak lepas kontrol dalam implementasi pelayanan publik.

Dewasa ini pengertian pelaksanaan partisipasi seringkali hanya ditujukan untuk kegiatan pembangunan (baca: proyek) di tingkat lokal; sementara partisipasi untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat makro (baca: yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat dan kegiatan yang menggunakan uang masyarakat), termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, belum banyak mendapat perhatian. Padahal partisipasi untuk kebijakan makro juga penting dan mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan masyarakat.[13] Conchelos (1985)[14] membagi partisipasi menjadi dua jenis, yaitu partisipasi dalam pengertian teknis dan partisipasi dalam pengertian politik. Partisipasi teknis diartikan sebagai “taktik” untuk mengikutsertakan masyarakat dalam aktivitas: mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisa data dan mengimplementasikan hasilnya. Sedangkan partisipasi politik diartikan sebagai pemberian kekuasaan dan kontrol kepada masyarakat melalui pilihan-pilihan untuk beraksi, berotonomi dan berefleksi terutama melalui pengembangan dan penguatan kelembagaan. Kegiatan partisipasi teknis yang tidak dilandasi dengan partisipasi politis, tidak akan memberikan makna yang signifikan bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan.

Secara sederhana Larry W. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Dari sudut terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite) (Arimbi HP dan Mas Achmad Santoso 1993: 1).

4.2. Partisipasi Masyarakat dalam Sistem Demokrasi Perwakilan

Terdapat asumsi, bahwa secara formal procedural demokrasi sudah bisa berjalan dengan adanya lembaga trias politika yang menyatakan bahwa kekuasaan negara hanya terdiri dari tiga jenis lembaga yaitu: pertama, kekuasaan legislative yang mewakili berbagai golongan masyarakat yang tugasnya membuat peraturan (undang-undang) dan mengontrol cara kerja serta kinerja lembaga ekskutif; kedua, ekskutif yang tugasnya melaksanakan undang-undangn untuk penyelenggaraan pemerintah sehari-hari dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat; ketiga, lembaga yudikatif yang mempunyai kekuasaan dan berfungsi menegakkan peraturan perundang-undangan. Adanya pembagian kekuasaan ini secara sederhana bisa dipahami dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh pihak yang berkuasa dengan tidak menyerahkan segala urusan kenegaraan kepada satu orang atau satu lembaga saja. Dengan demikian diharapkan apabila antara ketiga lembaga tersebut saling melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik maka demokrasi bisa berjalan.

Dalam kenyataannya, dalam penyelenggaraan demokrasi bernegara berdasarkan trias politika mengalami bias pada kepentingan institusi dan orang yang ada di institusi sendiri. Bias itu terjadi berdasarkan kenyataan yang sering terjadi bahwa, dalam negara banyak warga negara (masyarakat) yang kebutuhannya seringkali justru tidak sejalan atau berseberangan dengan institusi-institusi negara, bahkan dengan lembaga legislative yang dianggap mewakili warga masyarakat itu sendiri. Pada kenyataannya seringkali lembaga-lembaga negara tidak menyuarakan dan memihak kepada masyarakat yang diwakilinya. Sistim demokrasi dengan penerapan trias politika nampaknya masih jauh dari prinsip-prinsip representatif.[15] Selanjutnya menurut Budi Rajab, sistem demokrasi yang dikembangkan faham trias politika mengingkari dictum sosiologis, yang dari pengalaman sejarah telah terungkap, bahwa sangat jarang ada institusi yang merepresentasikan secara utuh kepentingan pihak-pihak yang diwakilinya.

Menurut Jurgen Habermas,[16] demokrasi yang selama ini berlangsung lebih bersifat formal procedural. Artinya , penyelenggaraan hidup bernegara hanya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal kenegaraan, yang isinya menunjuk pada relasi-relasi antara lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif, tanpa ada keterlibatan institusi-institusi kemasyarakatan. Demokrasi yang demikian dipandang tidak cukup karena yang disebut wakil tidak selalu sejalan bahkan bisa berseberangan dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dikembangkan bentuk demokrasi partisipatif, yang memungkinkan warga masyarakat melalui institusi-institusi yang dibentuknya bisa ikut serta atau terlibat langsung dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam melakukan pengawasan atas cara kerja dan kinerja berbagai instutusi negara tersebut. Oleh karena itu perlu dikembangkan institusi yang ada di masyarakat untuk melakukan kontrol perilaku publik institusi kenegaraan dalam rangka melakukan pengendalian.

4.3. Prasyarat Partisipasi

Banyak terjadinya penyimpangan dalam implementasi pelayanan public disebabkan salah satunya oleh adanya problem ketidakseimbangan penguasaan informasi antara masyarakat dengan pemerintah. Merebaknya perilaku korupsi di anggaran (APBD) karena tertutupnya akses informasi yang berkaitan dengan dokumen APBD. Paradigma bahwa dokumen APBD merupakan rahasia negara dan tidak semua orang dapat mengakses informasi tersebut telah menjadi penyebab terhambatnya control masyarakat terhadap praktek penyelenggaraan pemerintah. Padahal partisipasi dalam pengawasan dalam pelayanan public hanya mungkin terjadi ketika warga memiliki informasi yang memadai tentang dokumen-dokumen public. Kebebasan dan kapasitas warga untuk mengakses informasi dan dokumen public menjadi indikator penting bagi kemajuan tahapan partisipasi[17] sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan negara yang baik. Asas keterbukaan ini diartikan sebagai asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

4.4. Bagaimana Partisipasi dalam Pelayanan Publik Dilakukan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses penyusunan kebijakan publik bagi pengembangan demokrasi penyelenggaraan pemerintahan. Karena begitu pentingnya partisipasi masyarakat, prinsip ini menjadi salah satu pilar dalam rangka mewujudkan good governance. Dalam konteks pelayanan public, paradigma baru yang menempatkan masyarakat hanya sebagai pelanggan sudah saatnya ditinggalkan. Pelayanan public bukan semata-mata kegiatan untuk mencari keuntungan tetapi harus dilihat juga sebagai kegiatan yang bernuansa social (bukan semata-mata bersifat ekonomis). Dalam aktivitas pelayanan public, masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan tetapi juga sebagai pemilik negara dan pemerintah (penyelenggara layanan)à dari hanya sebagai customer ke posisi sebagai owner. Sebagai pemilik dan pemberi mandat kepada pemerintah, sudah sewajarnya masyarakat dilibatkan dalam setiap tahapan perumusan dan pengambilan kebijakan public termasuk kebijakan dalam pelayanan publik, yang di dalamnya menyangkut jenis pelayanan yang dibutuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan public, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan mengevaluasi pelayanan publik.[18] Dengan demikian, pertisipasi merupakan salah satu pilar dari good governance dalam pelayanan publik selain transparansi, akuntablitas, dan fairness. Untuk mewujudkan good governance maka dipandang perlu diatur partisipasi masyarakat dalam perymusan kebijakan pelayanan publik. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan Penyelenggara Negara (pemerintahan) membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan negara. Partisipasi public dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas public dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Meskipun mengetahui arti pentingnya dan manfaat partisipasi dalam pelayanan public, di banyak kasus pemerintah sering mengelabui masyarakat dengan menjadikan partisipasi hanya sebagai jargon untuk memperoleh legitimasi public. Partisipasi yang demikian tentu tidak akan mendatangkan manfaat apapun bagi masyarakat. Oleh karena itu paling tidak perlu diidentifikasikan metode atau instrument yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi. Urban Institute dan USAID, Pemerintah Skotlandia dalam penelitiannya yang tentang “Customer and Citizen Focused Publik Service Provision”, menyebutkan ada beberapa instumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyediaan pelayanan public, sebagai berikut:[19]

  1. membuat saluran untuk menampung keluhan konsumen.
  2. membuat saluran untuk menampung saran-saran dari konsumen.
  3. Melakukan survai konsumen.
  4. Melakukan kontak atau pertemuan dengan konsumen.
  5. Membuat forum untuk memperoleh masukan kualitatif dari konsumen, misalnya membentu forum konsumen.

Supaya partisipasi masyarakat lebih efektif maka instrument partisipasi harus disesuaikan dengan peran yang sedang dimainkan oleh masyarakat dalam proses penyediaan pelayanan public.

CONTOH KASUS 1:

Citizen's Charter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di Kota Blitar[21]

Masalah Pelayanan Publik yang ada sebelum dilakukan Partisipasi

Puskesmas bagai sebagaian masyarakat Kota Blitar merupakan pelayanan publik yang sangat vital. Hal ini karena tidak semua warga masyarakat di Kota Blitar mampu membayar biaya untuk memeriksakan diri ke dokter swasta pada saat mereka sakit. Sehingga apabila mereka sakit, Puskesmas masih menjadi tumpuan harapan satu-satunya untuk mencari tempat kesembuhan. Sayangnya, sebagai salah satu pusat pelayanan publik yang menjadi andalan masyarakat, Puskesmas di Kota Blitar masih banyak menghadapi kendala. Survay layanan Puskesmas yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK-UGM) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Blitar menemukan berbagai permasalahan pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas di Kota Blitar diantaranya adalah: masyarakat pengguna Puskesmas tidak mengetahui biaya secara pasti yang akan ditarik oleh Puskesmas. Pada beberapa Puskesmas juga ditemukan masalah tentang minimnya fasilitas pelayanan kesehatan yang mereka sediakan dan rendahnya otonomi Puskesmas untuk menangani pasien yang perlu penanganan mendesak.

Untuk mengatasi permasalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas di Kota Blitar, Pihak Pemkot bekerjasama dengan PSKK-UGM berusaha memecahkan masalah tersebut dengan instrumen partisipasi publik yang disebut sebagai citizen's charter.

Partisipasi Publik melalui Citizen's Charter

Pada dasarnya kegiatan citizen's charter merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di mana antara pemberi dan pengguna layanan, serta pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) secara bersama-sama membuat dan menyepakati suatu kontrak pelayanan menyangkut prosedur, waktu, biaya, dan cara pelayanan. Kesepakatan ini harus mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara penyedia dan pengguna layanan serta stakeholders. Kesepakatan tersebut yang kemudian dijadikan dasar dalam praktek penyelenggaraan layanan publik.

Sebelum sampai pada kontrak pelayanan tersebut, langkah awal yang dilakukan oleh pihak Pemkot Blitar dan PSKK-UGM adalah menandatangani nota kesepakatan untuk melakukan pelembagaan citizen's charter. Nota kesepakatan ini ditandatangani pada tanggal 22 Juli 2003 di Balai Kota Blitar. Bersamaan dengan penandatanganan kontrak ini juga dilakukan seminar dengan mengundang semua stakeholders yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di Kota Blitar, Camat, Lurah, tokoh masyarakat, paramedis dan pers.

Langkah selanjutnya setelah seminar adalah pelembagaan citizen's charter kepada masyarakat luas melalui serangkaian acara talk show, penyebaran leaflet, poster dan buku tentang citizen's charter ini. Seteleh kegiatan ini dilakukan, maka tahapan berikutnya adalah pembentukan forum citizen's charter yang dilakukan melalui musyawarah. Anggota forum ini terdiri dari 16 orang yang terdiri dari 3 orang wakil puskesmas, 1 orang dari dinas kesehatan, 1 orang dari RSUD, 1 orang dari LPMK, 2 orang dari posyandu balita dan lasia, 1 orang pers, 1 orang dari kecamatan, 1 orang lurah, 1 orang dari UKS/Cabang Dinas Pendidikan, 2 orang dari LSM, 1 orang tokoh masyarakat, 1 orang PPLK KB, dan 1 orang anggota DPRD. Mereka yang ditunjuk menjadi anggota forum ini adalah mereka yang oleh masyareakat dianggap mempunyai komitmen untuk memperbaiki pelayanan publik di Kota Blitar.

Setelah forum ini terbentuk , maka forum citizen's charter bekerjasama dengan PSKK-UGM melakukan survai pengguna layanan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna Puskesmas pada saat mereka ingin memperoleh layanan kesehatan dari Puskesmas. Selain melakukan survai, untuk memperkaya temuan, forum citizen's charter juga melakukan FGD dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang terpilih untuk memetakan permasalahan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas.

Setelah permasalahan pelayanan Puskesmas teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah membuat kontrak pelayanan untuk mengatasi masalah pelayanan publik di Puskesmas. Melalui serangkaian kegaiatan yang melaibatkan penyelenggara layanan, masyarakat dan stakeholders, akhirnya forum citizen's charter dengan difasilitasui oleh PSKK-UGM berhasil merumuskan kontrak pelayanan. Agar kontrak pelayanan ini diketahui oleh masyarakat luas yang akan menggunakan layanan puskesmas, setelah disepakati , kontrak pelayanan ini disosialisasikan kepada masyarakat dengan berbagai cara, misalnya melalui radio, sekolah, paramedis, dan lain sebagainya.

Perubahan Pelayanan Publik Setelah ada Citizen's Charter

Meskipun pada awalnya implementasi kontrak pelayanan ini banyak mengalami kendala namun akhirnya dapat teratasi. Dari kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh PSKK-UGM, Tim citizen's charter Pemkot Blitar, Dinas Kesehatan, Forum citizen's charter, dan masyarakat pengguna layanan, berhasil menemukan perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan setelah diimplementasiukannya kontrak pelayanan, yang terlihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

(1) Para Petugas Puskesmas menjadi lebih ramah, bersikap sopan, tidak merokok, dan tidak melakukan pekerjaan lain sewaktu melayani pasien.

(2) Petugas memberikan pelayanan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.

(3) Prosedur pelayanan menjadi lebih jelas sesuai dengan kontrak pelayanan yang telah disepakati .

(4) Penampilan para petugas lebih bersih dan rapi.

(5) Pengguna layanan dapat menyampaikan kritik dan keluhan.

5. Tantangan-Tantangan dalam Partisipasi Pelayanan Publik

Dalam upaya untuk berpartisipasi dalam pelayanan publik, masyarakat seringkali menghadapi beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut bisa berasal dari diri masyarakat sendiri dan bisa juga berasal dari pemerintahan. Kendala-kendala tersebut antara lain berupa:

7. Sistem yang terbangun belum memberikan ruang yang luas, aman, dan memadahi bagi pengembangan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

8. Masih rendahnya kesadaran masyarakat bahwa pelayanan publik merupakan bagian dari kehidupan sosial-politiknya yang oleh karenanya masyarakat harus juga terlibat dalam proses pengambilan kebijakan berkaitan dengan pelayanan publik.

9. Masih rendahnya kapasitas atau kemampuan masyarakat untuk melakukan partisipasi. Dalam melakukan partisiapsi dalam pelayanan publik dibutuhkan keaktifan masyarakat. Partisipasi membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas karena esensi dari partisipasi adalah masyarakat aktif. Tanpa masyarakat aktif, ruang partisipasi yang sudah terbuka tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal.

10. Belum terbangun kemauan dan komitmen politik dari sebagian besar Pemerintah untuk menciptakan transparansi pelayanan publik. Anggapan bahwa pemerintah telah menerima mandat yang penuh dari masyarakat merupakan sumber dari ketidakterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh informasi berkaitan dengan pelayanan publik prasyarat partisipasi menjadi tidak ada.

11. Belum terbangun kemauan dan komitmen politik dari legislative untuk melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pelayanan publikj. Bahkan dalam banyak kasus oknum anggota DPRD terlibat dalam berbagai penyimpangan pelaksanaan pelayanan publik.

12. Sudah berkembangnya kultur tanpa partisipasi dalam pelaksanaan pelayanan publik, sehingga partisipasi sering dimaknai sebagai ekspresi resistensi.

13. Sistem informasi pelayanan publik masih bersifat pasif. Untuk mendapatkan informasi, masyarakat sendiri yang harus mencari informasi berkaitan dengan segala yang berkaitan dengan pelayanan publik. Sistem ini jelas tidak mendorong inisiatif masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pengawasan terhadap pelayanan publik.

14. Perangkat hukum yang dapat menjadi dasar yang memberikan jaminan bagi partisipasi masyarakat masih minim. Perangkat hukum yang memberi ruang bagi partisipasi masyarakat ini penting karena selain supaya masyarakat mengetahui hak, kewajiban, tanggungjawab serta mekanisme dalam berpartisipasi, masyarakat juga memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya tersebut.

6. Rekomendasi

Berkaitan dengan uraian etrsebut di atas, hal-hal yang penting dilakukan dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan upaya penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam pelayanan publik.

2. Perlu dilakukan penguatan kapasitas masyarakat misalnya dengan pelatihan-pelatihan tentang bagaimana berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

3. Selalu mendorong pemerintah untuk membuka ruang-ruang partisipasi dalam peneyelenggaraan pelayanan publik.

4. Mendorong terjadinya upaya untuk menciptakan akses informasi yang mudah bagi masyarakat berkaitan dengan perolehan informasi dokumen publik yang berkaitan dengan pelayanan publik.***



* Disampaikan pada “Pelatihan Partisipasi Warga dalam Pengelolaan Pelayanan Publik Dasar” yang diselenggarakan oleh Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) pada tanggal 30 November 2006 di Wisma “ASRI” Tawangmangu.

** Staff Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lokal Lembaga Percik, dan Advokad pada Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH) Percik. Organizing Committee (Fasilitator Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Metode) Forum Pengambangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) periode April 2004 - Juni 2006.

[1] Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah pasal 1 ayat (7).

[2] Lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph I, butir C.

[3] Untuk penyelenggaraan pemerintah yang baik ini telah diterapkan aturan formal berupa Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam UU tersebut asas penyelenggaraan negara terdiri dari: asas kepastian hukum; asas tertib dalam penyelenggaraan Negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan ; asas proporsionalitas; dan asas akuntabilitas.

[4] Bdgk, “Otonomi Daerah dan Layanan Publik”, dalam http://www.pu.go.id/itjen/buletin/3031otoda.htm.

[5] Komisi Hukum Nasional (KHN) , “Reformasi Sektor Layanan Publik”

[6] Bandingkan, Ihsan Haerudin, “Anggaran Pro Rakyat Miskin”, Bujet, Edisi 9/Oktober 2003, hal. 48 – 49.

[7] Agus Priyanto, “Mendorong Partisipasi Publik untuk Transparansi APBD”, Bujet, Edisi 10/Nopember – Desember 2003, hal. 43-44.

[8] Lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph V.

[9] Komisi Hukum Nasional (KHN), op. cit.

[10] Terhadap swastanisasi layanan publik ini masih terjadi perdebatan. Diskusi untuk ini, lihat antara lain Ikhsan Haerudin, “Reformasi Pelayanan Publik” Pikiran Rakyat, Selasa 24 September 2002.

[11] Dalam Roy V. Salomo dan Jamal bake, “Administrasi Publik, Aransemen Kelembagaan dan reformasi Pelayanan Publik di Tingkat Lokal”, Jurnal PSPK, Pusat studi Pengembangan Kawasan, Edisi 1, Februari 2002, Jakarta, hal. 9.

[12] Savas, ES, Privatization: The Key To Better Government (New Jersey: Chatham House Publishers Inc., 1994) dalam Roy V. Salomo dan Jamal Bake, ibid.

[13] Lihat Ganjar Kurnia, “Jangan Ada Rahsia Diantara Kita”, Bujet, Edisi 3, Pebruari 2003, hal. 43-44.

[14] Dalam Ibid, hal. 43.

[15] Budi Rajab, “Pengawasan Masyarakat atas Institusi Kenegaraan”, Bujet, Edisi 10 / Nopember-Desember 2003, hal. 46.

[16] Dalam Ibid.

[17] Suhirman, “Mendefinisikan Partisipasi: Penelusuran Awal Atas Konsep, Tahap, Dan Dinamika Partisipasi”, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Pengembangan partisipasi Masyarakat ke-7 (PF VII FPPM) di Ngawi, 15 – 18 Juli 2003.

[18] Bdgk Agus Dwiyanto (ed), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) – Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm 194.

[19] Ibid, hal. 199.

[20] -

[21] Sumber: Pelembagaan Citizen's Charter dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Yogyakarta, Kabupaten Semarang, dan Kota Blitar, PSKK-UGM dan Ford Foundation, 2004, dalam Agus Dwiyanto, ed, op. Cit. Hal. 206-209.