Oleh : Slamet  Luwihono
Pendahuluan
Bukan upaya yang mudah untuk memberikan gambaran tentang desa dan kota secara utuh, disamping karena kompleksitas permasalahan yang ada di desa maupun di kota juga karena sifat dinamis desa dan kota sebagai akibat pembangunan. Gambaran yang diberikan sekarang tentang desa atau kota belum tentu relevan  untuk kondisi dua tahun mendatang. Dengan demikian pembahasan tentang  desa seringkali tidak dapat dilepaskan  dari terjadinya perubahan sosial desa yang demikian cepat. Rogers dalam bukunya Social Change in Rural Societies: An Introduction to Rural Sociology, memandang perubahan sosial sebagai suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan  di dalam struktur dan fungsi dari suatu sistem kemasyarakatan.[1]  Perkembangan yang cepat tersebut  tentunya tidak lepas dari perkembangan teknologi pertanian dan juga perubahan struktur perekonomian dan politik. Perubahan sistem produksi  telah membawa perubahan yang mendasar  pada system pertanian yang pada gilirannya berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat pedesaan sebagai petani atau  menggantungkan hidupnya pada pertanian di pedesaan.  
Secara sosiologis, Maschab menggambarkan desa sebagai suatu bentuk  kesatuan masyarakat atau komunitas  penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan di mana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif  homogen serta banyak bergantung pada alam. Lebih jauh lagi Maschab menyebukan  bahwa desa diasosiasikan dengan satu masyarakat yang hidu sederhana, pada umumnya hidup dari lapangna pertanian, ikatan sosial, adat dan tradisis masih kuat, sifat jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif masih rendah dan sebagainya.[2]  Dalam perkembangannya, sebagai akibat dari arus modernisasi sebagian desa telah mengalami perubahan  secara drastis dan jauh dari kondisi-kondisi yang banyak digambarkan oleh para ahli. Modernisasi sebagai satu pendekatan pembangunan telah juga membawa perubahan sosio-kultur  desa. Dalam konteks yang demikian, desa tidak lagi bisa didefinisikan sebagai tempat  tempat tertentu yang masih jujur dan bersahaja, lugu dan masih menjalin ikatan-ikatan sosial secara informal. Meskipun demikian, dalam kenyataannya dampak modernisasi  terhadap masyarakat desa memang tidak dapat digeneralisir. Secara nyata masih ada masyarakat desa yang masih hidup mematuhi  tradisi dan adat istiadat turun temurun, dan banyak diantaranya dalam kondisi tidak maju atau terbelakang menurut ukuran modernitas. Desa di Badui dalam atau pada umumnya desa-desa di luar Jawa misalnya merupakan masyarakat  yang masih menjunjung tinggi kepercayaan tradisional dan adat sehingga derasnya arus modernisasi tidak mampu mempengaruhi  kehidupan masyarakat. Sebagian desa lagi, terutama desa-desa di luar Jawa, secara geografis terletak sangat  jauh dari dunia modern  sehingga sulit untuk dijangkau dan akibatnya tidak mudah untuk dipengaruhi.[3]
Pada masa lampau penduduk pedesaan pada umumnya hidup dengan sistem subsisten, tetapi paradigma modernisasi telah  mengubah mode of production  dari tidak berorientasi keuntungan ke berorientasi pada keuntungan. Dengan perkembangan-perkembangan yang ada di pedesaan dalam kenyataannya untuk kasus-kasus desa tertentu terutama di Jawa dari karakteristik dan fisik menjadi sulit membedakan antara desa dengan kota. Perbedaan-perbedaan desa-kota sangat tepat dinilai dengan indikator yang mengukur kesejahteraan  secara langsung.  Demikian juga kesehatan dan hidup mengandung nilai universal  dengan demikian memberikan ukuran yang mengandung validitas lintas - kultural.[4] Indikator kesejahteraan ini lebih dimaknai sebagai kesejahteraan secara ekonomi. Kota dipandang lebih sejahtera  daripada desa yang tidak sejahtera dari ukuran ekonomi. Pemaknaan yang demikian ternyata berdampak  terhadap cara pandang orang desa  terhadap keadaan kota  yang digambarkan sebagai  menjanjikan ketersediaan  sumber-sumber ekonomi untuk kesejahtreraan. Sementara itu desa dipandang sebagai tempat  yang sulit sebagai tempat  untuk meningkatkan kesejahteraan. Terlepas dari tingkat kebenaran cara pandang tersebut, cara pandang  dari sisi kesejahteraan ini telah menjadi salah satu pendorong orang-orang desa berpindah (melakukan urban) ke kota dalam rangka untuk meningkatkan sumber penghasilan.
Fenomena boro  menjadi upaya yang sering ditempuh oleh masyarakat desa yang merasa kesulitan meningkatkan kesejahteraan ekonominya untuk pergi ke kota. Boro menjadi upaya alternatif bagi masyarakat desa untuk mencari pekerjaan ke kota karena tertutupnya peluang mencari pekerjaan di desa yang dipandang tidak dapat menjanjikan. Meskipun boro mengandung resiko-resiko sosial, psikologi, ekonomi dan lain-lain, kesenjangan kesejahteraan desa-kota yang begitu drastis lebih menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan atas dasar resiko-resiko tersebut. Apa peranan yang diberikan oleh kaum boro terhadap kehidupan sosial  di desa asalnya dan bagaimana  kehidupan kaum boro dalam menjalani kehidupan di kota yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan sosial di desa asalnya ? Permasalahan-permasalahan  tersebut yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.
Kaum Boro dan Peranannya Dalam Kehidupan Sosial Desa
Pengertian boro dalam konteks ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian migrasi musiman seperti yang dikemukakan oleh Alan Gilbert & Josef Gugler. Gilbert dan Gugler[5]  mendeskripsikan migrasi musiman sebagai berikut:
| "Pemisahan keluarga seringkali menciptakan   bentuk migrasi musiman. Setelah masa kerja yang mungkin berakhir 6 bulan atau   2 tahun, migran tersebut kembali lagi untuk bermukim dengan keluarga besar   mereka.  dalam kasus yang ideal ,   kepulangan kaum migran bersamaan dengan    kebutuhan  akan tenaga kerja  di sawah atau  ladang di desa.  Di beberapa tempat, kaum migran  menjadi tenaga kerja kontrakan , misalnya,   tenaga mereka digunakan dalam masa    yang telah ditentukan  dan   disediakan  biaya transport untuk   pulang pergi. Berulangnya  perpindahan   musiman ini umum sifatnya, sehingga banyak kaum migran  yang bertambah luas pengalaman kotanya.   Upaya spekulasi  migrasi musiman  merupakan respon awal  "masyarakat tradisional"  terhadap peluang-peluang baru  untuk mendapatkan upah dan barang   manufaktur, untuk menunjukkan kepada    "orang-orang primitif" yang sedang membuat barang pintas   untuk masuk ke dalam suatu lingkungan yang asing." | 
Dari deskripsi tentang migrasi musiman tersebut, kaum boro dapat digunakan untuk menunjuk sekelompok orang desa yang pergi merantau  ke kota untuk mencari pekerjaan. Biasanya masyarakat desa terutama di Jawa, menyebut kaum boro dengan sebutan wong boro.  Pada umumnya wong boro ini tinggal di kota selama lebih kurang tiga hingga enam bulan untuk bekerja mengumpulkan penghasilan, selanjutnya mereka pulang kembali ke desanya untuk menjenguk keluarga dan atau tidak pulang tetapi mengirim penghasilan yang mereka peroleh selama bekerja di kota.  Setelah pulang di desa asalanya selama kurang lebih satu bulan mereka kembali ke kota untuk bekerja. Tidak jarang juga kaum boro ini pulang ketika musim tanam telah tiba, karean tenaga mereka dibutuhkan selama  musim tanam di desa tersebut. Setelah musim tanam selesai, kaum boro ini kembali ke kota sedangkan yang merawat tanaman adalah anggota keluarga yang tinggal di desa. Biasanya dalam melakukan boro, kaum boro tidak mengajak keluarganya (suami dan anak-anaknya). Dengan demikian boro  merupakan adaptasi terhadap pemisahan keluarga: boro sebagai bentuk migran yang pulang secara teratur kepada keluarganya  dalam jangka waktu yang lama dan  dia tetap  aktif terlibat  dalam permasalahan keluarga besar, dan urusan desanya (lihat,  Alan Gilbert & Josef Gugler, 1996: 76).
Determinan perilaku migrasi ini bisa dianalisis  dalam beberapa kerangka sistem antara lain:[6] 
1.      Sistem preferensi, menggambarkan ketertarikan relatif pada berbagai tempat sebagai tujuan dari para  pelaku migrasi potensial. Suatu daya tarik wilayah merupakan perimbangan antara nilai-nilai positif dan negatif  yang ditawarkan wilayah tersebut. Diantara nilai-nilai positif  yang paling penting adalah prospek pekerjaan dengan penghasilan  yang lebih baik dari pada di desa tempat asalnya.  Namun, boro ini juga berdampak pada nilai-nilai negatif berupa gangguan terhadap  hubungan interpersonal  denga kerabat dan teman-teman di desa serta kebutuhan untuk mempelajari adat istiadat baru di desa asal. 
2.      Sistem harga, menjelaskan biaya-biaya  berupa uang, energi dan waktu yang digunakan untuk melakukan  boro ini.
3.      Total sumber daya, yang tersedia untuk semua tujuan  juga mempengaruhi keputusan untuk melakukan boro  ini.
Disamping  determinan-determinan tersebut, boro juga menimbulkan dampak sebagai berikut: 
1.      Dapat meningkatkan penghasilan bagi kaum boro. Bersamaan dengan konskuensi positif ini terdapat konskuensi lain bernilai negatif bagi pembangunan masyarakat desa berupa  kerugian di bidang investasi karena investasi yang semula dimaksudjkan untuk menyelenggarakan  dan memberi pendidikan pada anak-anak tetapi pada akhirnya setelah dewasa mereka membaktikan dirinya di tempat lain karena desa dipandang tidak menjanjikan dari sisi materi. 
2.      Boro dapat mengurangi (meskipun kadang kurang signifikan) ketidakseimbangan/kesenjangan  pendapatan antara kota  - desa. Ini bisa terjadi karena  kaum boro  cenderung bergerak dari wilayah berpendapatan rendah (desa) ke wilayah berpendapatan tinggi (kota).
Dari sisi perilaku sosial, kehidupan kota yang meskipun dijalani secara singkat telah dapat merubah pola kehidupan desa. Begitu kaum boro sampai di kota ia dituntut untuk beradaptasi perilaku yang memungkinkan ia mencapai keberhasilan  ekonomi secara efektif.  Kaum boro  yang datang dalam jangka waktu yang singkatpun tidak lagi sepenuhnya bersikap seperti orang desa. Meskipun mereka pada tahap-tahap awal kedatangan ke kota mampu mempertahankan pola dan gaya kehidupan desa dan mampu memegang nilai-nilai  desanya tetapi desakan/tuntutan untuk menyesuaikan dengan kehidupan kota  sangat kuat sehingga nilai-nilai, gaya hidup dan pola kehidupan desa tergeser. Pertimbangan utama pergeseran nilai, gaya dan pola hidup lebih didominasi oleh pertimbangan adanya kesempatan memperoleh peningkatan ekonomi. Komitmen yang dimiliki kebanyakan kaum boro terhadap komunitas asal dapat menjadikan untuk tidak menjalani kehidupan kota di kota secara penuh. 
Investasi sosial sering juga dilakukan oleh kaum boro  berupa pengiriman uang ke keluarga mereka, membantu famili untuk  mengikuti pendidikan di kota. Semua itu dilakukan seringkali bukan atas dasar kerelaan untuk berinvestasi mengembangkan desanya tetapi di balik semua itu tersembunyi kepentingan yaitu untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka di desa asalnya. Dalam benak mereka tidak ada keinginan untuk selamanya bermukim di kota dan suatu waktu akan kembali ke desa asalnya. 
Diantara kaum boro dalam satu kota biasanya terjalin ikatan yang kuat dan komunikasi selalu dijaga. Misalnya orang boro yang baru pulang ke kampungnya (biasanya kepulangan ke kampung tidak dilakukan secara bersamaan) sering membawa informasi dari desa asalnya untuk disampaikan ke orang boro lainnya sehingga orang-orang boro tidak ketinggalan perkembangan informasi di desanya. Mereka selalu mendapat informasi jika ada orang yang mempunyai iakatan keluarga di desanya sedang sakit, tetangganya yang hendak mempunyai  hajatan (pesta perkawinan, misalnya), tentang pembangunan yang yang hendak dilaksanakan di desanya bahkan tentang dinamika politik lokal didesanya seperti pemeilihan kepala desa atau kepala dusun. Orang boro yang pulang seringkali dijadikan sarana/media informasi yang mempunyai peranan strategis bagi kaum boro dalam rangka tetap menjalin hubungan-hubungan sosial di desanya.
Peran Kaum Boro Dalam Pembangunan Desa
Dari sisi ekonomi kaum boro dipandang lebih mempunyai kekuatan finansial yang riil dari pada orang desa yang tetap tinggal dan bekerja sebagai petani di desa. Karena pendangan yang demikian  kaum boro seringkali  menjadi sasaran mobilisasi bagi pembangunan fisik di desa. Peranan kaum boro dalam pembangunan desa ini dideskripsikan oleh Dwi Wuryaningsih sebagai berikut:[7]
| "Pembangunan  terbesar    yang dilakukan di Desa Kedungringin adalah jembatan Sungai Serang.   Pembangunan jembatan sungai serang yang kono menghabiskan dana ratusan juta   rupiah didukung oleh seluruh warga desa    baik ulama, warga setempat maupun orang-orang boro......... Pada   hari lebaran banyak orang-orang boro  yang pulang ke kampung. Matdarto (cat. Ketua   Kaum boro  Kedungringin di   Jakarta) mengumpulkan orang-orang boro itu di rumahnya. Dalam   pertemuan itu Matdarto menyampaikan gagasannnya untyuk merenovasi Masdjid di   Dusun Krajan. Gagasan itu disambut baik oleh orang-orang boro. Untuk   merealisasikan gasgasan tersebut, Matdarto, mengadakan pertemuan bagi orang-orang   boro  setelah mereka sampai di   Jakarta untuk mengumpulkan sumbangan dari orang-orang boro. Demikian juga yang disampaikan oleh Matharto,   pengurus kaum boro di Jakarta dari dusun Krenceng, Desa Kedungringan   bahwa pembangunan di dusunnya banyak mendapat sumbangan dari  kaum boro. Ditambahkan pula oleh   Matharto jika ide pembangunan di dusunnya datang dari Pak kadus, jalannya   pemabngunan itu seringkali menemui kendala. Karean Pak kadus hanya sebatas   mempunyai ide saja sedangkan  dana   masih harus mencari dari sumbangan warga    yang belum tentu setuju  dengan   gagasan Pak kadus. Berbeda jika ide    pembangunan datang dari    orang-orang boro. Selain ide, orang boro juga mempunyai   dana untuk membiayai pembangunan itu" | 
Selain kekuatan finansial secara riil yang dimiliki oleh kaum boro yang dapat menunjang pembangunan fisik di desa seperti dupaparkan dalam hasil penelitian di atas, ternya kaum boro juga mempunyai kekuatan politik yang dapat mempengaruhi dinamika [politik lokal di pedesaaan sebagaimana dipaparkan di bawah ini:[8]
|  "Terpilihnya Hadi Nurdin sebagai kades,   tidak terlepas dari peran kaum boro. Semenjak orang-orang boro  di Jakarta mendengar bahwa Hadi Nurdin   hendak maju sebagai calon Kades, mereka menyatakan kesanggupannya untuk   mendukung Hadi  Nurdin. Hubungan yang   terjalin dengan baik antara hadi Nurdin dengan orang-orang boro telah   melatarbelakangi dukungan orang-orang boro  dalam pencalonnanya. Ketika Hadi Nurdin   kuliah di IKIP Negeri Jakarta dan tinggal bersama  kakaknya, ia cukup dekat dengan orang-orang   boro. Seringkali orang boro  yang mendapat kesulitan, datang kepada Hadi   Nurdin untuk meminta bantuannya. Hal inilah yang menjadikan munculnya   kedekatan orang-orang boro  dengan Hadi Nurdin." | 
Dari kedua paparan tersebut di atas dapat diketahui bahwa pandangan orang desa yang masih tetap tinggal dan bekerja di desa terhadap orang-orang boro  adalah didominasi pandangan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan. Dalam kenyataannya memang tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat  pendapatan kaum boro dapat dikatakan lebih baik daripada orang-orang yang tetap tinggal di desa.  Karena pandangan yang demikian tersebut  maka kaum boro  seringkali dijadikan tumpuan untuk meminta bantuan baik bantuan yang bersifat individual maupun yang bersifat untuk kepentingan masyarakat desa seperti pembangunan tadi. Selain sebagai tempat meminta dukungan finansial, kaum boro  ternyata juga dijadikan tempat memobilisai masa untuk pencarian dukungan politik seperti dukungan dalam pencalonan Kades. Dukungan politik dalam pencalonan kadesa ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari adanya kemmapuan finansial yang dimiliki kaum boro  mengingat pencalonan kades seringkali tidak dapat dilepaskan dari money politic. Diharapkan selain dukungan suara memang dukungan uang juga bisa diberikan oleh kaum boro ini.
Penutup
Kesenjangan tingkat kesejahteraan  antara desa dengan kota telah menjadi faktor pendorong terjadinya boro  ini.  Dari sisi ekonomi, kota yang dipandang lebih sejahtera daripada desa telah mendorong orang desa untuk melakukan boro ke kota untuk meningkatkan kesejahtraannya. Pabrik modern dan peluang adanya lapangan kerja di kota telah menanamkan harapan baru bagi masyarakat desa untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Alasan ekonomi menjadi alasan yang dominan terjadi arus boro dari desa ke kota. Ini ditunjukkan dengan adanya fenomena  boro  dari wilayah yang tingkat kesejahteraan ekonomi rendah ke wilayah yang mempunyai tingkat kesejahteraan tinggi.
Bagi masyarakat desa fenomena boro  telah membawa dampak baik yang bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif karena secara fisik dapat membantu pelaksanaan pembangunan dan peningkatan pendidikan dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya proses pemaksaan perilaku kehidupan kota di desa yang seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di desa.  Terlepas  dari dampak yang ditimbulkannya, fenomena boro merupakan dampak dari penerapan pembangunan dengan pendekatan/paradigma pertumbuhan yang berpusat pada kota-kota besar. Karena pertumbuhan dirasa tidak dapat menetes ke wilayah pedesaan  maka orang-orang desalah yang harus menjemput pembagian hasil pembangunan dengan datang ke kota. Dengan cara demikianlah hasil pembangunan  dapat didistribusikan ke  wilayah-wilayah desa.§  
Daftar Pustaka
1.                 Alan Gilberrt dan Josef Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan Di Dunia Ketiga, Tiara wacana, Jogyakarta.
2.                 A. Surjadi, 1995, Pembangunan Masyarakat Desa, Mandar Maju, Bandung, 
3.                 Bahreit T. Sugihen, 1997, Sosiologi  Pedesaan (Suatu Pengantar), RajaGrafindo Persada, Jakarta,
4.                 C. Dwi Wuryaningsih, 2001, Kiprah Kaum Boro Dalam Kehidupan Masyarakat Desa: Studi Tentang Kaum Boro Di Desa Kedungringin, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semrang, Makalah disajikan pada Seminar Dinamika Politik Lokal P3PL-Petrcik, di Bandungan, tanggal 26 Juni 2001.
5.                 Machievelli, 2002, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, edisi kedua,
6.                   Suhartono, 2001, Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.
*******
[1] Bahreit T. Sugihen, 1997, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar), RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 55).
[2] Lihat Suhartono, 2001, Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, hal. 17-18.
[3] Lihat juga A. Surjadi, 1995, Pembangunan Masyarakat Desa, Mandar Maju, Bandung, hal. 5.
[4] Alan Gilberrt dan Josef Gugler, 1996, Urbanisasi dan Kemiskinan Di Dunia Ketiga, Tiara wacana, Jogyakarta, h. 58.
[5] Alan Gilbert & Josef Gugler,1996, Urbanisasi dan Kemiskinan Di Dunia Ke Tiga, Tiara Wacana Jogja, Yogyakarta, hal. 76.
[6] Machievelli, 2002, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, edisi kedua, hal 662.
[7] C. Dwi Wuryaningsih, 2001, Kiprah Kaum Boro Dalam Kehidupan Masyarakat Desa: Studi Tentang Kaum Boro Di Desa Kedungringin, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semrang, Makalah disajikan pada Seminar Dinamika Politik Lokal P3PL-Percik, di Bandungan, tanggal 26 Juni 2001.
[8] Ibid
 
 

 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar