13 Agustus 2008

Kalau Bisa Mengelak Mengapa Harus Mengakui?

Oleh: Slamet Luwihono


Sebagian besar orang terperangah mendengar kasus penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) oleh KPK karena diduga menerima suap dari Artalyta Suryani (Ayin) yang diikuti adanya indikasi keterlibatan pejabat-pejabat tinggi di Kejaksaan Agung.

Belum lagi peristiwa yang mencoreng wajah hukum di Indonesia surut dari pembicaraan umum, kita kembali disuguhi dengan berita penangkapan seorang anggota DPR, Al Amin Nasution, yang tertangkap tangan menerima suap dari Sekretaris Daerah Bintan, Azirman, terkait perubahan kawasan hutang lindung di Bintan. Dalam waktu dan kasus yang berbeda disusul kemudian adanya penangkapan anggota DPR Yusuf Erwin Faisal dan Bulyan Royan. Lebih menghebohkan lagi ada kurang lebih 52 orang anggota Komisi IX periode 1999-2004 menerima dana Bank Indonesia antara Rp 250 juta sampai Rp 1 Milyart seperti diungkapkannya oleh Hamka Yandu. Kalau semua dugaan itu benar, DPR sebagai tempat dari para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam kenyataannya telah melukai hati rakyat dengan ambisi-ambisi pribadinya dalam menumpuk kekayaan.

Buntut dari peristiwa-peristiwa tersebut kita kembali disuguhi berbagai macam trik dan strategi berupa penyangkalan, bantahan, dan pengelakan dari tuduhan yang tujuannya satu, untuk menyelamatkan diri, mempertahankan nama baik, dan juga mempertahankan jabatan yang masih disandangnya. Bentuk bantahan tersebut diskenario sedemikian rupa dalam sesuatu yang seolah-olah rasional.

Daya Tarik Uang

Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang yang menduduki jabatan di pemerintahan apakah itu jaksa, bupati, sekretaris daerah, anggota legislatif, jaksa, dan lain-lain telah melakat identitas baik personal maupun kelompok sebagai yang terhormat. Dalam masyarakat yang kapitalistik, penghargaan terhadap seseorang sering dilekatkan dengan kekayaan materiil.

Kekayaan materiil telah menjadi sumber utama memperoleh kekuasaan baik formal maupun non formal. Dalam kasus jaksa UTG misalnya, kita dapat melihat bagaimana Ayin demikian “berkuasanya” di lingkungan Kejaksaan Agung sehingga bisa mengarahkan skenario persidangan kepada seorang jaksa sekaliber UTG dan bahkan mungkin dua pejabat penting di Kejaksaan Agung. Kuat indikasi keberhasilan seorang Ayin masuk dalam lingkaran Kejaksaan Agung tidak lepas dari penguasaan Ayin terhadap kekayaan material yang dimiliki serta kemampuan membagi-bagikannya di kalangan pejabat kejaksaan.

Harga diri bagi pejabat dan pengusaha yang dalam masyarakat menempati posisi yang terhormat harus dijaga sedemikian rupa oleh yang memilikinya. Segala perbuatan yang bisa menurunkan kehormatan harus ditutupi dan dibantah sedemikian rupa. Dalam rangka mempertahankan harga diri dan identitas personal/kelompok itu para pejabat dan sebagian anggota DPR yang sedang terkena kasus dugaan suap beramai-ramai melakukan penyangkalan dan pengelakan.

Mekanisme pertahanan diri

Dalam kehidupan bermasyarakat tentu kita tidak asing dengan pengelakan atau penyangkalan. Pengelakan dan penyangkalan ini merupakan upaya menutupi diri dari sesuatu atau perbuatan yang bisa menurunkan harga diri. Umumnya orang-orang terpandang ingin selalu kelihatan “bersih” di mata masyarakat. Jaksa yang sering menangani kasus suap-menyuap tidak mau kelihatan kalau dia sendiri justru menjadi penerima suap. Anggota DPR yang terhormat yang sudah digaji tinggi ditambah fasilitas yang begitu banyak tidak mau kelihatan kalau ia melakukan pemerasan dan minta uang suap. Para pejabat tersebut pasti tidak mau apabila kekurangan dalam hal moralitas tersebut ketahuan oleh masyarakat banyak.

Bagaimana kita melihat jaksa UTG dan Ayin membungkus perbuatan suap dengan bungkus pertama-tama jual beli permata yang oleh Kejaksaan Agung diterima mentah-mentah sebagai suatu kebenaran. Indikasi penerimaan Kejaksaan Agung terhadap pengelakan jaksa UTG ini terlihat dari penerapan sanksi oleh Kejaksaan Agung kepada jaksa UTG dengan alasan melanggar kode etik kejaksaan karena melakukan jual beli permata. Menurut Kejaksaan Agung seorang jaksa tidak etis nyambi sebagai pedagang permata. Kejaksaan Agung telah menjadi penguat dari pengelakan UTG. Upaya Kejagung ini tentu bukan tanpa alasan, karena bagaimanapun pengungkapan suap yang melibatkan UTG akan berpengaruh terhadap posisi Kejagung.

Dalam perjalanannya, bungkus jual beli permata UTG ini diganti dengan bungkus bisnis perbengkelan yang mungkin dianggap lebih rasional. Dalam hal ini UTG mungkin lebih berpengalaman melakukan penyangkalan karena dia seorang jaksa yang kesehariannya berhadapan dengan “kriminal” yang kebanyakan melakukan penyangkalan terhadap dakwaan. Demikian juga Azirman yang membungkus uang suap sebesar 33 ribu dolar Singapura sebagai uang untuk membeli mobil di Jakarta. Ada upaya dibawah sadar dari Azirman untuk menyelamatkan diri dari situasi yang sedang mengancamnya. Apabila tidak tertangkap tangan, pengelakan yang paling mudah dilakukan adalah dengan mengatakan tidak menerima uang suap itu, seperti yang ramai-ramai dikemukakan oleh para anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang disebut oleh Hamka Yandu menerima aliran dana BI.

Bisnis permata, perbengkelan, jual beli mobil, dan bahkan mengaku tidak menerima uang suap tentu dianggap lebih “bersih” dari pada menerima suap yang selain bisa menurunkan harga diri juga bisa memasukkan para pejabat itu ke penjara bahkan sampai ke pemecatan.

Dalam perspektif psikologi, penyangkalan dan pengelakkan bisa dipahami sebagai apa yang oleh Freud disebut sebagai “ego defenses” (pertahanan-pertahanan ego). Ketika para pejabat tersebut berada dalam situasi yang mencemaskan, mengancam harga diri, ketidakberdayaan, dan situasi-situasi lain yang akan membahayakan diri (posisi/jabatan) maka akan muncul upaya-upaya untuk bisa keluar dari situasi demikian. Penyangkalan dan pengelakan merupakan upaya melindungi diri fakta-fakta yang sebenarnya yang memalukan dan menjadi ancaman. Selanjutnya Freud menyatakan bahwa mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur penipuan diri (Zainun Mu’tadin, http://www.e-psikologi.com).

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak ditunjukkan oleh kepintaran para pejabatnya melakukan penyangkalan dan pengelakan untuk menutupi perbuatan tercelanya, tetapi bagaimana para pejabat bisa menjaga kepercayaan masyarakat dan merasa malu melakukan perbuatan yang bisa mencoreng martabat sebagai seorang birokrat. Upaya menyelamatkan diri dari sanksi hukum, moral dan sosial lebih baik tidak dilakukan dengan penyangkalan dan pengelakan tetapi dengan tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dan perbuatan yang bisa melukai hati rakyat.

Tidak ada komentar: