19 Agustus 2008

Pemekaran Daerah atau Wilayah?

Oleh: Slamet Luwihono


Maraknya tuntutan pemekaran daerah yang seolah tidak terbendung merupakan dampak dari kebijakan desentralisasi yang mulai diterapkan pada era reformasi tahun 1999. Kebijakan desentralisasi tentu bukan faktor tunggal karena ada faktor penyebab lainnya yang sebagai faktor pendorong tuntuitan pemekaran daerah seperti perubahan situasi politik di Indonesia. Dewasa ini fenomena pemekaran daerah menjadi wacana yang ramai dan tidak asing lagi dibicarakan masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat ”biasa”, akademisi, politisi, para aktivis demokrasi, dan lain-lain. Bahkan Profesor Eko Budiaharjo menggambarkan bahwa istilah ”pemekaran” seolah sudah menjadi semacam mantra, atau virus yang menyebar ke segenap pelosok Nusantara (Kompas, 19/01/2008). Tidak dapat dipungkiri dalam perkembangannya pemekaran daerah telah menjadi komoditas politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia pada masa transisi demokrasi ini.

Penambahan Daerah Baru

Dari perspektif kewilayahan, terminologi ”pemekaran” menurut Profesor Eko Budihardjo merupakan istilah yang salah kaprah karena dalam ”pemekaran” wilayah yang terjadi bukan pemekaran tetapi lebih tepat penciutan atau penyempitan wilayah (Kompas, 19/01/2008). Dari perspektif kewilayahan memang istilah ”pemekaran” tidak tepat digunakan mengingat dengan ”pemekaran” suatu daerah justru mengalami penyempitan bukan perluasan wilayah. Dalam melihat pemekaran daerah banyak perspektif yang bisa digunakan antara lain perspektif hukum dan kebijakan, perspektif penataan wilayah, perspektif politik administrasi pemerintahan, dan lain-lain.

Dari perspektif politik administrasi pemerintah pusat, pembentukan daerah baru merupakan upaya penambahan jumlah daerah baru (kota/kabupaten/propinsi) atau bisa disebut pemekaran. Ini ditunjukkan, paling tidak sejak reformasi tahun 2009 hingga awal 2008 telah terbentuk 164 pemekaran daerah baru (Policy Paper DRSP) dan pada pertengahan 2008 telah terbentuk 191 penambahan daerah baru terdiri dari tujuh provinsi, 32 kota, dan 152 kabupaten (Kompas, 19/01/2008). Ini berarti selama kurun kurang lebih enam bulan saja telah mengalami pemekaran daerah sebanyak 27 daerah. Dengan penambahan daerah baru tersebut maka beban anggaran yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat akan bertambah. Dengan penambahan daerah baru (propinsi, kabupaten/kota) akan terjadi penambahan jumlah kepala daerah dan struktur di bawahnya yang itu semua membutuhkan biaya rutin.

Padahal kalau kita simak, tahun sebelumnya (2007) pemerintah pusat telah melakukan upaya pengendalian pembentukan daerah baru dengan secara gencar menyerukan moratorium pemekaran. Pada tahun 2007 itu pula pemerintah mencoba mengubah Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pemekaran (PP 129 tahun 2000) yang disinyalir oleh banyak pihak sebagai penyebab maraknya tuntutan pemekaran dengan PP yang baru (PP 78/2007) yang mencantumkan persyaratan pemekaran yang relatif lebih sulit. Tetapi tuntutan pemekaran tetapbergaung keras. Maraknya tuntutan pemekaran telah membuat pemerintah pusat kewalahan terutama karena beban keuangan yang harus ditanggung akibat penambahan daerah baru semakain meningkat. Sementara itu dampak positif bagi masyarakat kurang signifikan dibandingkan dengan pengeluaran anggaran yang yang dikeluarakan oleh pemerintah pusat.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Percik bekerjasama dengan Democratic Reform Suport Program (DRSP), salah satu daya tarik tuntutan pembentukan daerah baru adalah adanya kebijakan dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terdiri dari Dana Aloksi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada 2003, sebanyak 22 kabupaten/kota baru sebagai hasil pemekaran sepanjang 2002 telah menerima DAU sebesar Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun (Syaril Syahrial dalam http://www.lpem.org). Besarnya jumlah transfer DAK dan DAU telah menjadi daya tarik yang bisa mengesampingkan pertimbangan lain. Apabila benar bahwa faktor ekonomi ini telah mendominasi tuntutan pemekaran maka sependapat yang dengan Jusuf Kalla (Kompas, 16/10/2007) semangat pemekaran daerah ini telah mengingkari semangat otonomi daerah, karena yang terjadi adalah ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat terutama dalam pembiayaan pembangunan daerah. Dalam hal ini kita seing lupa bahwa otonomi harus dimaknai bukan hanya kemandirian kewenangan tetapi harus dimaknai juga sebagai upaya kemandirian finansial (pembiayaan).

Komoditas Politik

Dalam perspektif politik, pemekaran daerah telah dijadikan komoditas politik oleh elite-elite untuk mewujudkan ambisi politiknya, misalnya oleh elite yang gagal dalam pilkada. Isu-isu dimarginalkannya satu etnis oleh etnis lain dikomodifikasi sedemikian rupa dan direproduksi terus menerus oleh elite politik untuk mempercepat proses pemekaran. Pemekaran menjadi alat perjuangan politik yang justru mengesampingkan kepentingan rakyat. Itulah sebabnya meskipun di beberapa daerah pemekaran dirasakan manfaatnya antara lain dengan adanya peningkatan pelayanan publik tetapi di beberapa tempat belum membuahkan hasil yang signifikan. Sebagai contoh, dari sebuah pemberitaan (Kompas, 3/11/07,) meskipun pada tahun 2007 Maluku Utara menginjak usia delapan tahun sejak berdiri sebagai daerah baru, ternyata kemiskinan masih merajalela. Pemerintah yang baru masih belum mampu mengelola sumber daya alam yang berlimpah-limpah, pejabat cenderung, sibuk mengejar dana dekonsentrasi dan melupakan kekayaan alamnya sendiri. Bahkan sampai sekarang, Maluku Utara terus didera konflik berkepanjangan pasca Pemilihan Gubernur.

Pada peristiwa lain, pemekaran daerah telah menjelma menjadi ajang bagi perluasan praktek-praktek korupsi. Dengan meningkatnya transfer DAU dan DAK, maka semakin banyak proyek yang dikerjakan di daerah baru. Transfer dana dari pusat yang berupa DAU dan DAK yang diharapkan bisa menciptakan kesejahteraan rakyat ternyata jauh panggang dari api.

Untuk meletakkan cita-cita pemekaran pada relnya, menurut hemat saya melakukan pembenahan di level kebijakan saja belumlah cukup. Pembenahan juga harus dilakukan pada level kesadaran politik para elite terutama yang ingin menjadi pelayan publik supaya tidak menjadikan pemekaran sebagai komoditas politik semata. Menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk meluruskan semangat pemekaran pada jalur semula yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

2 komentar:

Yuni Kristinawati mengatakan...

Pemekaran daerah yang diharapkan bisa mensejahterakan rakyat menjadi kontraproduktif apabila terus menerus menerus dijadikan instrumen perjuangan memperoleh kekuasaan.

ersn mengatakan...

Kaaaakkkk......maaf banget yaa....saya lama banget beri comment....bukan apa apa karena topiknya beraaaat nian...jadi...tetep ga bisa comment juga....
please forgive your sista....

but...keep writing and share your best idea for the best of all....